Kala Hidup di Sekitar Bahan Peledak Tambang

Di samping bendera Merah Putih, seorang ibu berdiri dengan wajah sedih. Lirih membatin. Ia mengenakan masker hitam bertuliskan “alam pun menangis jika tersakiti”. Mata yang mulai memerah, mengering, seperti kehabisan air mata, membayangi ingatan atas peristiwa banjir bandang tahun 2018 lalu di sekitar Desa Bongkaras, Kecamatan Silima Pungga Pungga, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Dalam kejadian itu, ada enam orang kehilangan nyawa. Satu di antara enam korban itu mayatnya tidak ditemukan.
Pagi kemarin, Senin, 3 Mei 2021, kala rerumputan masih berembun, ia dan puluhan warga lain dari desa-desa yang dimasuki konsesi tambang sudah tiba di Kantor Yayasan Petrasa. Mereka menggunakan mobil angkutan, membawa bekal sendiri, dan menggunakan masker. Perlahan, rombongan lain tiba, hingga jumlah mereka menjadi ratusan. Hari itu, mereka bersiap melakukan aksi unjuk rasa, memprotes kebijakan negara yang telah memberikan izin kepada perusahaan pertambangan.
Ada resah dan gelisah yang teramat dalam. Beberapa waktu lalu, Opung Mikael bercerita pada saya di rumahnya. Di hadapan saya, ia dan istrinya menunjukkan gambir yang sudah kering, diambil dari atas para-para.
“Ini semua sangat melimpah di desa kami, tapi hati kami sangat gelisah akibat tambang yang beroperasi di bawah tanah kami,” ucapnya lirih.
Saya termenung sesaat. Mencari relasi melimpahnya gambir dengan kandungan tanah yang kini akan ditambang perusahaan seluas 24.636 ha. Malam kemarin saya juga mendiskusikannya dengan Direktur Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) Sarah Naibaho. Bicara gambir bukan hanya bicara ekonomi, tapi juga berbicara tentang alam.
Apakah gambir harus tumbuh dengan adanya pepohonan di alam yang berbukit-bukit itu? Pun begitu, gambir terbukti menjadi tumpuan ekonomi rakyat hingga kini. Dahulu, gambir pernah dijual hingga ke India untuk membikin bahan pewarna pakaian, obat-obatan, dan kosmetik. Pada pikiran yang paling dalam, bagaimana filosofi gambir bagi orang Pakpak itu sendiri? Tentu saya ingin menemukan relasinya, yakni dengan menanam gambir adalah merawat alam.
Sementara itu, Opung Gideon boru Sitorus dari Desa Bonian sangat getol menyuarakan bahwa mereka bisa hidup dari hasil pertanian. Jika divaluasi nilai ekonominya, durian menjadi komoditas andalan bagi masyarakat yang tinggal di sekitaran Parongil. Durian menjadi ekonomi tahunan. Ada juga hasil tani lainnya seperti pinang, kelapa, jagung, padi, hingga ke tanaman muda lainnya. Bahkan, dahulu sekitaran Lae Bongkaras sangat terkenal sebagai tempat budidaya ikan mas kolam. Namun, pada tahun 2018, banjir bandang menyapu petak-petak kolam tersebut. Kini, di sana tersisa batuan-batuan gunung yang diseret arus sungai.

Banjir bandang yang terjadi tahun 2018 membuat masyarakat sekitar Parongil semakin sadar untuk mempertahankan ruang hidup. Jika terjadi operasi tambang yang begitu luas, dalam keyakinan mereka, ruang hidup akan semakin rusak. Ada relasi sosial-ekologi menyejarah yang semakin parah. Waktu terus berlanjut. Sampai kapan bayang-bayang bencana itu menghantui? Padahal, seorang ahli geologi sudah mengingatkan bahwa lokasi tambang tersebut berada di daerah rawan bencana, terletak di dua patahan gempa.

Tuntutan Aksi
Semakin siang, warga Dairi yang tergabung dalam Sekber Tolak Tambang tiba di kantor DPRD Dairi. Di sana, ada empat orang anggota dewan yang menerima massa aksi tanpa kehadiran Ketua DPRD. Anggota dewan tersebut bernama Wan September Situmorang, Rukiatno Nainggolan, Alfriansyah Ujung, dan Fitri Tarigan.
Di depan gedung DPRD, terjadi dialog yang begitu alot. Warga terus mendesak anggota dewan agar segera membentuk panitia khusus (pansus) penyelesaian kasus PT Dairi Prima Mineral (DPM). Akhirnya perwakilan anggota dewan tersebut menyetujui pembentukan pansus, tapi memohon agar mereka diberi waktu.
Warga merasa persetujuan aggota dewan harus dituangkan dalam surat tertulis untuk memastikan agenda pembentukan pansus. Sayang, anggota dewan belum bisa memastikan tenggangnya.
Anggota-anggota dewan itu pun tidak bersedia saat massa aksi mengajak mereka menemani rakyat ke kantor bupati. Dengan kecewa, warga lanjut bergerak ke depan kantor bupati.
Matahari semakin terik, tapi warga memilih bertahan. Meski aspal di depan kantor bupati semakin panas, warga tetap bertahan, menyuarakan satu tuntutan agar Bupati Dairi Eddy Kelleng Berutu mencabut Surat Keterangan Kelayakan Lingkungan Hidup (SK KLH) No. 731 yang terbit pada November 2005 lalu. Selama ini, SK KLH tersebut menjadi landasan hukum bagi perusahaan tambang untuk terus beraktivitas. SK tersebut dikeluarkan pada masa kepemimpinan bupati periode sebelumnya.
Masyarakat mendesak bupati untuk mengambil sikap. Warga berharap bupati yang dipilih rakyat harus berpihak kepada rakyat. Bukan kepada investor tambang. Bupati juga diminta mengeluarkan surat rekomendasi penolakan pembahasan adendum Analisis Dampak Lingkungan (Andal), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RPL-RKL) tipe A.

Tuntutan juga ditujukan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengentikan pembahasan adendum Andal yang saat ini sedang diajukan PT DPM di Jakarta.

Suasana di kantor bupati begitu ramai dengan teriakan dan yel-yel tolak tambang. Beberapa peserta aksi melangkah ke depan untuk membacakan puisi, melakukan aksi teatrikal mangandung yang disertai dengan tor-tor. Menurut Sarah Naibaho, mangandung bermakna meratap. Dalam konteks kasus tambang, ada suasana yang menimbulkan kesedihan. Teatrikal itu disampaikan melalui gerakan tarian, lakon tubuh menyatu dengan batin para ibu-ibu. Mereka larut, hingga kaki yang tak beralas dan isak tangis di wajah mampu menahan suhu aspal yang makin memanas.**
Rindu Hartoni Capah, warga Dairi dan alumni CASI ARC