Get In Touch

Perspektif Pertanian Skala Besar dan Kecenderungannya di Indonesia

Agrinews blogspotARC - Debat Agraria - 2017

Catatan dari Sesi 2 – Diskusi “Debat Agraria” 2017, 13 Maret 2017

Pemantik diskusi: Tridakusumah
Disusun oleh: M. Syafiq

Alat produksi dan tenaga kerja merupakan dua hal yang menjadi elemen penting bagi sistem kapitalisme untuk terus dapat bertahan semenjak awal abad ke 19 saat formasi feodalisme runtuh hingga saat ini. Dengan menguasai kedua elemen tersebut, sistem kapitalisme dengan perkasa mampu menguasai hampir seluruh sendi kehidupan manusia di perkotaan hingga ke wilayah pedesaan dan juga menguasai sistem produksi dan reproduksi melalui relasi kelas yang eksploitatif antara para kapital sebagai pemilik alat produksi dengan pekerja sebagai pemilik tenaga kerja. Dengan begitu, kapitalisme dapat mengakumulasi keuntungan secara terus-menerus.

Pada awal mula perkembangannya, khususnya di wilayah pedesaan, sistem kapitalisme memanfaatkan sarana atau alat produksi yang telah tersedia pada masyarakat pra-kapitalis yang disebut dengan akumulasi primitif, yaitu tanah. Melalui akumulasi primitif tersebut, para kapitalis dengan perlahan mulai memisahkan masyarakat tani dari alat produksinya (tanah) dan memanfaatkannya untuk kepentingan kapital dengan cara membangun industri skala besar, seperti industri sawit atau bahkan palawija. Tentu saja, masyarakat tani yang awalnya menguasai tanah tersebut ‘dibebaskan’ (atau dipaksa) untuk memilih antara menjual tenaga kerjanya sebagai pekerja upahan kepada korporasi atau pindah ke wilayah lain; hidup atau mati.

Berbicara mengenai kapitalisme, tentu, tidak hanya sebatas persoalan keuntungan, privatisasi, ataupun tenaga kerja, melainkan bekerjanya pasar dalam menentukan keberlangsungan hidup kapitalisme itu sendiri. Pasar inilah yang menuntut para kapital untuk terus berkompetisi untuk dapat bersaing dan beradaptasi dengan permintaan pasar yang dinamis karena jika tidak, mereka akan tersingkir. Dalam bukunya yang berjudul Manifesto Komunis (2004), Karl Marx dan Friedrich Engels menyatakan bahwa kapitalisme akan senantiasa terus berkembang dan merevolusionerkan alat-alat produksi, relasi-relasi produksi, dan hubungannya dengan masyarakat sehingga pada akhirnya masyarakat akan menerima perubahan-perubahan tersebut dengan tanpa dapat diketahui bahwa ada sekelompok masyarakat yang sedang dieksploitasi.

Di Indonesia, dapat dilihat bagaimana kapitalisme bertransformasi menjadi varian yang lain, salah satunya adalah praktik yang dilakukan oleh PT. JAPFA dan VASHAM di Provinsi Lampung dan Banten semenjak tahun 2013 di mana sistem kapitalisme tidak lagi dibangun di atas penyingkiran dan pemagaran lahan secara paksa (enclosure), namun dengan kontrak yang dilakukan antara petani kecil dengan korporasi yang bersifat kemitraan. Status penguasaan tanah masih menjadi milik masyarakat tani, namun komoditas ditentukan oleh korporasi, dalam hal ini adalah komoditas jagung. Selain itu, dengan menjadi mitra para petani akan diberikan modal dalam bentuk bibit, pupuk, dan biaya operasional. Akan tetapi, untuk menjadi mitra korporasi tersebut, petani disyaratkan memiliki lahan seluas 5 Ha dan menjual hasil produksi kepada mereka.

Praktik industri yang dijalani oleh PT. JAPFA dan VASHAM, dalam perspektif agribisnis dianggap telah turut memberi jalan keluar dalam mengatasi kemiskinan di pedesaan melalui penyedian lapangan kerja dan sumber penghasilannya yang baru. Namun, perlu diketahui bahwa keterlibatan masyarakat tani dalam proses agribisnis atau industri pertanian skala besar tersebut telah merubah masyarakat tani menjadi angkatan kerja yang bekerja dengan sarana produksi orang lain. Kemudian, dengan sistem kontrak, yang berarti para petani hanya memproduksi komoditas yang dikehendaki oleh korporasi dan kontrol atasnya dipegang penuh oleh korporasi tersebut. Dengan kata lain, masyarakat tani tersebut sedang dan telah di-proletarianisasi.

Sedangkan korporasi yang berada di atasnya terus dapat mengakumulasi keuntungan dari hasil produksi dengan cara menguasai seluruh sistem pangan atau dalam perspektif agribisnis disebut sebagai Supply Chain Management yang mengacu pada bagaimana pangan bermula sejak dari usaha pertanian hingga berakhir di atas meja makan. Melalui sistem tersebut, korporasi-korporasi dapat bekerja sama secara vertikal maupun horizontal, seperti yang dilakukan oleh PT. JAPFA dan VASHAM, yang dapat menekan biaya produksi [ CITATION Sim03 \l 1057 ]. Lebih dari itu, dengan menguasai SCM, korporasi akan mampu melayani kebutuhan pasar secara global dan membuka ruang luas bagi investor dalam skala besar. Sementara, masyarakat tani harus rela mempertukarkan tenaga kerjanya dan dihilangkannya akses untuk mengolah lahan pertanian milik mereka sendiri hanya untuk menghasilkan keuntungan yang dinikmati oleh sekelompok individu (korporasi).

Proses proletarianisasi di wilayah pedesaan, bagi kaum marxis klasik, sudah tak dapat dihindarkan lagi. Bagaimanapun juga, kapitalisme akan terus masuk hingga ke sudut pedesaan yang terdalam. eP Namun, yang membedakan dengan contoh kasus di atas adalah bahwa penguasaan alat-alat produksi masih diprivatisasi oleh individu (korporasi). Sementara, bagi kaum marxis klasik yang diwakili Lenin dan Kautsky, alat-alat produksi haruslah dikuasai oleh negara yang dioptimalkan bagi semua masyarakat dan dipimpin oleh yang berasal dari kaum proletariat.

Referensi:

  1. Marx, K., & Engels, F. (2004). Manifesto Partai Komunis. Yogyakarta: Cakrawangsa.
  2. Simchi-Levi, D., Simchi-Levi, E., & Watson, M. (2003). Tactical Planning For Reinventing The Supply Chain. Dalam The Practice of Supply Chain Management: Where Theory and Application Converge (hal. 14). Massachusetts, USA: Kluwer Academic Publishers.