Get In Touch

Catatan Pendidikan Agraria untuk Pemuda dan Mahasiswa (Bagian II, Selesai)

Catatan Bagian II

Reforma Agraria

Reforma agraria berasal dari bahasa Spanyol, kemudian menjadi bahasa Inggris yang berarti reform (merombak). Reforma agaria bukan merupakan tujuan akhir, ia hanya tahapan dalam perubahan menuju keadilan sosial. Reforma agraria nantinya menyediakan dasar bagi industrialisasi di pedesaan. Reforma agraria merupakan transisi dari kondisi agraris ke industrialisasi yang berbasis substitusi. Karena reforma agraria merupakan sebuah program, maka reforma agraria juga bergantung pada visi masyarakat yang ingin dicapai.

Jika yang di maksud oleh pembuat kebijakan reforma agraria adalah kapitalisme, maka, reforma agraria itu bisa mempercepat kapitalisme. Hal itu pernah terjadi di Jepang, Taiwan, dll. Dalam program reforma agraria sosialisme terdapat dua poin utama:

  1. Perombakan Struktur
    – Pemerataan penguasaan tanah untuk petani miskin dan buruh tani
    – Pembatasan penguasaan tanah
  2. Penataan dan pengembangan usaha produksi bersama

Dari sini tampak jelas perbedaan antara reforma agraria kapitalistik dan reforma agraria sosialisme. Reforma agraria kapitalistik hanya melakukan legalisasi tanah dalam bentuk sertifikasi. Bentuk penguasaannya pun masih timpang, dan jauh dari wacana penguasaan tanah berbasis kolektif.

Ada dua cara dalam mengupayakan reforma agraria sosialis. Melalui negara atau melalui kekuatan politik alternatif dari bawah. Reforma agraria yang dilakukan oleh negara bisa dengan efektif melakukan pembatasan penguasaan tanah. Ia juga bisa efisien dalam melakukan distribusi tanah secara merata. Namun, perlu usaha yang kuat dan persiapan yang panjang menuju reforma agaria.

Cara lainnya adalah dengan membangun kekuatan politik alternatif. Dengan melakukan okupasi dan pendudukan lahan yang kemudian diubah corak penguasaan dan produksinya menjadi kolektif. Namun, jelas ini juga tidak mudah. Perlu persiapan yang matang untuk membangun gerakan ini. Perlu ada pendidikan ideologis bagi massa tani maupun kaum miskin kota. Perlu suatu organisasi tani yang kuat dan terkonsolidasi dengan baik, punya pengaruh politik, dan punya angkatan bersenjata.

Poin terakhir menjadi syarat karena perjuangan mempertahankan lahan ataupun pendudukan lahan adalah perjuangan sarat kekerasan dan perlawanan dari kaum kontra-reform. Para tuan tanah tidak akan dengan sukarela melepas tanah-tanah mereka. Sudah pasti, jika seperti ini, aparat bersenjata negara akan dikerahkan untuk menghabisi gerakan rakyat. Maka dari itu massa rakyat harus siap menghadapi ini dengan membangun kekuatan bersenjata yang berasal dari rakyat dan mengabdi pada rakyat itu sendiri.

MST dan Gerakan Reforma Agraria Sosialis

Movimento dos Trabalhadores Sem Terra (MST) merupakan suatu organisasi yang berjuang untuk keadilan tanah di Brasil. MST melakukan pengorganisiran kaum buruh tani, buruh dan kaum miskin kota sebagai basis massa utama di beberapa daerah di Brasil. Mereka meyakini buruh tani itu sendiri harus memimpin gerakannya, salah satu caranya adalah dengan mendorong keterlibatan buruh-buruh tani dalam serikat-serikat dan/atau partai politik.

Salah satu cerita bagaimana MST mengorganisir massa adalah dengan mendatangi kaum miskin kota di kampung-kampung kota yang ada di Brasil. Mereka menawarkan kepada warga kampung kota untuk melakukan gerakan pendudukan lahan demi mendapatkan tanah. Lahan-lahan yang diduduki adalah lahan-lahan milik tuan tanah di Brasil.

Bagi warga yang sepakat bergabung MST, mereka akan dipersiapkan oleh kader-kader MST dengan diberikan pendidikan dan masa percobaan selama tiga bulan di kamp pertama. Di sana mereka akan diberi pendidikan dasar berupa tujuan berorganisasi, cita-cita perjuangan, disiplin organisasi, taktik perjuangan serta kerja sama.

Jika massa sudah siap, mereka akan diberangkatkan menuju kamp kedua sebagai masa percobaan awal untuk pendudukan lahan. Di kamp ini massa mulai menduduki lahan-lahan publik yang punya sedikit potensi resistensi dari pemerintah setempat. Pada tahap ini, massa belajar untuk bersosialisasi, mempraktikkan disiplin dan kolektivisme untuk bertahan hidup. Meski di kamp kedua ini jarang terjadi gesekan dengan aparat, tetap saja ada persiapan lobi dan advokasi bagi massa melalui jejaring yang ada, seperti NGO dan organisasi-organisasi lain yang turut membantu, baik itu bersifat bantuan hukum atau logistik.

Lalu jika massa sudah siap mereka kemudian akan pindah kamp ketiga dan melakukan pendudukan lahan. Di tempat inilah, upaya perlawanan dari pihak tuan tanah dan aparat gencar terjadi dan menimbulkan bentrok dengan massa yang akan menduduki lahan. Jika perlawanan ini dimenangkan massa, maka mereka kemudian akan menduduki lahan dan memulai mengubah sedikit demi sedikit corak produksinya.

Namun, jika upaya pendudukan itu gagal, mereka akan kembali lagi ke kamp kedua dan mempersiapkan lagi upaya pendudukan lahan. Sesekali mereka akan mencoba untuk menduduki kembali kamp ketiga sampai akhirnya berhasil mengusir tuan tanah. Biasanya mereka bahkan bisa menghabiskan waktu 3-5 tahun di kamp kedua. Karenanya, tak jarang anggota massa yang meninggalkan perjuangan di tengah-tengah jalan. Tetapi, banyak juga di antara mereka yang berhasil bahkan hingga ke generasi berikutnya.

Anak-anak warga yang ikut meninggalkan kampungnya di kota, terutama dari tingkat TK hingga SD akan diberikan pendidikan di lokasi kamp dengan tenaga pengajar yang ada dari jejaring maupun kader MST itu sendiri. Bagi mereka yang sekolahnya sudah sampai tingkat SMP, akan dibiayai hingga tingkat perguruan tinggi dan diwajibkan mengabdi untuk perjuangan-perjuangan reforma agraria sosialis di Brasil. Mereka yang disekolahkan itu nantinya bisa menjadi kader MST atau menjadi NGO serta tenaga-tenaga terdidik lainnya yang mendukung gerakan MST. Hingga saat ini MST masih terus melakukan pengorganisasian dan melakukan pendudukan lahan tuan-tuan tanah di Brasil.**

Ilyas Gautama