Ancaman dan Bahaya Revisi UUPA 1960

Catatan Diskusi yang dilaksanakan pada 24 Februari 2025 di Perpustakaan ARC
Oleh Sayid Muhammad Syarif [1]
Mengapa harus menolak Revisi UUPA 1960?
Berangkat dari latar belakang yang disampaikan serta diuraikan oleh Ratu Tammi (selaku narasumber pertama) terhadap peserta diskusi mengenai kondisi agraria di Indonesia, diskusi dimulai dengan term keadilan agraria (Agrarian Justice) yang berarti sebuah kondisi dengan struktur penguasaan tanah yang relatif tidak menunjukkan ketimpangan sehingga dapat memunculkan peluang bagi terciptanya penyebaran serta penguatan aktivitas perekonomian rakyat berbasis pedesaan. Sehingga menjadi dasar untuk melibatkan penduduk yang lebih luas untuk berpartisipasi secara ekonomi, sosial, dan politik dalam pembangunan nasional.[2]
Dari data yang disajikan oleh Tammijumlah letusan konflik agraria pada tahun 2014 mencapai 1.520 dan terus meningkat menjadi 2.939 pada tahun 2023.[3] Selain itu, struktur penguasaan tanah di Indonesia dalam enam dekade terakhir tidak menujukan perubahan yang lebih baik. Rasio Gini penguasaan tanah di Indonesia tidak pernah berada di bawah 0,5, bahkan mencapai 0,7 pada tahun 2018. Sementara rumah tangga petani yang menguasai tanah kurang dari 0,5 hektar meningkat menjadi 59% dari rumah tangga petani yang ada.[4]
Konflik agraria dan struktur penguasaan tanah yang timpang menjadi penanda bahwa keadilan agraria di Indonesia telah pudar.
Dahulu di Indonesia dalam rangka mencapai keadilan agraria (Agrarian Justice) para pendiri bangsa membuat sebuah produk hukum yang bersifat progresif dan prinsipiil yakni Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960).
Meskipun demikian, pada periode ini 2025-2029, UUPA berencana untuk diubah dan dihapus, sebagaimana dicantumkan pada program legislasi nasional (Prolegnas). Rencana untuk mengubah dan menghapus UUPA sudah menjadi agenda dari penganut pasar bebas sejak masa Orde Baru melalui proyek-proyek pertanahan yang didanai oleh Bank Dunia dan sejumlah lembaga keuangan lainnya.
Upaya untuk mengubah dan menghapus UUPA telah ada semenjak masa Orde Baru, yang merujuk pada Proyek Administrasi Pertanahan/ Land Administration Project (LAP), yakni serangkaian kegiatan yang meliputi kajian kebijakan terhadap UUPA dan pendaftaran serta sertifikasi tanah, termasuk tanah komunal/tanah adat di Indonesia yang bertujuan untuk memudahkan alih fungsi lahan bagi investasi dan pasar bebas. Selain itu dalam dokumen kajian kebijakan bank dunia, UUPA dinyatakan dengan tegas sebagai penghambat utama karena dianggap sudah tidak sesuai dalam pembangunan di Indonesia dan dunia saat ini.
Lebih lanjut Tammi mengupas dengan detail bagaimana sejarah UUPA dibentuk oleh pendiri bangsa Indonesia, bahwa kebijakan agraria dan masalah agraria merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.
Hal ini tentunya berangkat dari kebijakan hukum pada masa pra-kemerdekaan disusun berdasarkan kepentingan pemerintah kolonial dan feodal yang menyengsarakan rakyat, seperti Agrarische Wet 1870, adalah hukum tanah administratif pemerintah Hindia Belanda yang lahir atas desakan-desakan swasta untuk mempermudah menguasai tanah-tanah di Indonesia. Hal ini terpotret dalam prinsip domain Verklaring (pernyataan domein), hak eigendom (milik) dan hak erfpach (sewa).
Sedangkan kepentingan-kepentingan feodal termanifestasi dalam hak istimewa yang terdapat pada tanah swapraja, tanah partikelir dan desa perdikan. Tanah yang memiliki hak istimewa yang meliputi kaum kerajaan, bangsawan hingga warga asing. Pada prinsipnya hak istimewa yang dimaksud yakni raja sebagai pemilik tanah-tanah sedangkan rakyat dikategori sebagai pengguna.
Selain dari kisah di atas yang dijelaskan oleh Tammi, terdapat beberapa permasalahan yang timbul di antaranya : (1) Luas hutan atau kebun jati pada Hutan Negara di pulau Jawa dan Madura hampir tujuh juta hektar di tahun 1865; (2) Di tahun 1902 luasan tanah onderneming pertanian seluas 2,9 juta hektar mayoritas berada di Sumatra dan Jawa; (3) Perusahaan perkebunan, kehutanan, tuan tanah kaya yang berdampak pada tajamnya konsentrasi lahan di pedesaan, sehingga rata-rata tanah milik rakyat hanya sebesar 0,84 hektar dan 52% rumah tangga petani merupakan tunakisma; (4) Meningkatnya harga beli dan sewa tanah serta timpangnya struktur penguasaan lahan dan pada gilirannya menciptakan semi-proletariat di pedesaan Jawa.[5]
Perkawinan antara kepentingan kolonial dan feodal telah menghasilkan hukum yang dualistis sehingga berakibat pada ketidakmampuan untuk mengakomodasi masalah-masalah agraria. Pada prinsipnya tanah dilihat hanya sebagai objek atau komoditas semata.
Berdasarkan permasalahan di atas, UUPA memiliki tujuan-tujuan pokok untuk meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, dengan mengadakan kesatuan dan kesederhanaan serta memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah agar mencapai kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi rakyat seluruhnya khususnya bagi kaum tani. Adapun tujuan-tujuan pokoknya:
- Membentuk tatanan masyarakat setelah Indonesia merdeka
- Membangkitkan semangat kemerdekaan dan kemandirian dengan mengikis mentalitas bangsa terjajah
- Menciptakan pembangunan yang berdasarkan kerakyatan untuk kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata
Selain dari tujuan pokok terdapat asas-asas yang tercantum di dalam UUPA di antaranya:
- Nasionalitas, Anti asing, kepastian hukum dan Unifikasi: setiap masyarakat di Indonesia merupakan kesatuan bangsa Indonesia yang memiliki hak dan ikatan terhadap tanah dan kekayaan alam yang membentang di seluruh negeri.
- Unsur sosial atas tanah, HMN dan anti monopoli swasta: dalam pemanfaatan dan penguasaan atas tanah, kepentingan masyarakat harus selalu diutamakan agar kepentingan seseorang atas tanah tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
- Pembatasan penguasaan tanah, land reform dan perencanaan agraria; tanah adalah alat untuk menciptakan kesejahteraan sehingga harus dimanfaatkan dan diusahakan. Tanah bukan sebagai komoditas, objek investasi atau spekulasi semata. Tanah juga merupakan alat untuk menciptakan keadilan sosial dengan menentukan batasan maksimal dalam penguasaan dan kepemilikannya, agar tanah tidak menumpuk pada beberapa golongan dan merugikan kepentingan umum.
Kelebihan-kelebihan di dalam UUPA :
- Menjawab persoalan agraria di Indonesia: menghapus warisan kolonial dan feodal
- Kesungguhan dalam proses penyusunan: disusun selama 12 tahun, memperhatikan mandat konstitusi serta melibatkan akademisi, pemerintahan, serta serikat tani
- Pro terhadap rakyat dan penghormatan terhadap kaum tani: dilarang ada kepentingan perorangan, swasta, dan pemerintahan yang merugikan masyarakat. Dilarang ada tanah-tanah guntai dan penguasaan yang melebihi batas maksimum. UU No.2/1960 (tenancy reform).
- Dasar hukum bagi pembangun dan perekonomian rakyat; UU No.56 Prp. 1960 (UU Land Reform)¸tanah guntai, tanah yang melebihi batas maksimal, tanah negara tanah swapraja untuk petani kecil.
Pada tahap diskusi ini, Tammi lebih lanjut menguraikan bagaimana sketsa sejarah upaya-upaya penggantian, revisi dan pengerdilan terhadap UUPA dari masa ke masa:
Orde Baru: (1) UUPA dan program land reform dibekukan melalui strategi pembangunan tanpa transformasi sosial yang bertumpu pada investasi dan pasar bebas; (2) sektoralisme peraturan perundang-undangan terkait agraria melalui sejumlah kebijakan dan institusi negara yang diberikan wewenang, dan berdampak pada penyingkiran masyarakat dan tidak mendapatkan ruang baik di kawasan hutan , non-hutan, dan area yang dinyatakan sebagai tempat pertambangan; (3) pembangunan yang mengubah peran negara melalui manipulasi konsep HMN, sehingga konsentrasi penguasaan lahan terus meningkat.
Pasca Reformasi: (1) rancangan sejumlah peraturan perundang-undang pengganti UUPA 1960 yakni RUU Pertanahan dan RUU SDA; (2) Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Proyek Strategi Nasional (Merombak secara signifikan dari landasan awal dari UUPA; (3) penerbitan hak baru atas tanah dalam peraturan perundang-undangan non-agraria; (4) Penghilangan makna hak atas tanah yang bersifat nasional di DIY; (5) pengerdilan terhadap reforma agraria melalui Peraturan Presiden Nonor 86/2018 yang ditopang oleh dana pinjaman Bank Dunia.
Adapun bahaya yang terdapat dalam revisi UUPA 1960 yaitu:
- Komodifikasi tanah akan semakin menguat
- Perampasan tanah untuk kepentingan investasi semakin mudah
- Potensi konsentrasi penguasaan tanah semakin meningkat/menguat
- Pengerdilan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945
Sebagai penutup, Ratu Tammi dengan tegas dan lugas menyampaikan—sekaligus menjadi pengingat—bahwa dengan menguatnya watak rezim pemerintahan saat ini yang pro terhadap pasar bebas dan pemodal, wacana untuk mengubah atau menghilangkan UUPA 1960 harus ditolak sedari awal yang dicantumkan pada Prolegnas 2025-2029. UUPA 1960 harus didukung sebab substansinya bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial dan penguatan ekonomi rakyat berdasarkan objek-objek agraria.
Posisi UUPA 1960 Dalam Dampingan Kasus Rakyat
Heri Pramono (LBH Bandung) selaku Narasumber kedua memulai dengan menyatakan bahwa tanah merupakan bagian dari hak asasi bagi setiap manusia, baik secara sendiri-sendiri maupun secara berkelompok, yang memiliki serangkaian keterkaitan untuk kelangsungan hidupnya melalui tanah tersebut. Begitu pun dengan UUD 1945 yang mengakui hak atas tanah dalam berbagai kepentingan. Sedangkan hak milik berlaku sebagai hak untuk tempat tinggal yang tidak dapat diambil alih secara sewenang-wenang.
Lebih lanjut, Heri menguraikan isi/makna yang tercantum di dalam pasal 3 UUPA 1960, yang berbunyi: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak yang serupa dengan itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataan masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang maupun peraturan yang lebih tinggi.”
UUPA Sebagai Konstitusi Agraria (Isi dan Kedudukannya) terdapat beberapa pasal yakni:
- Pasal 6 : Fungsi Sosial atas Tanah
- Pasal 8 : Kewarganegaraan dan terhadap tanah
- Pasal 13 : Mencegah monopoli swasta
- Pasal 16 : Jenis-jenis hak atas tanah
- Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 3 : Pengakuan bersyarat terhadap hak ulayat masyarakat
Pada bagian ini Heri menguraikan melalui perspektif Peraturan Perundang-undangan (UUPA 1960) tentang apa yang dimaksud dengan Hak Menguasai Negara, yaitu: (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa; (b) menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Lebih dipertegas bahwa sejatinya UUPA 1960 yang menjadi acuan awal regulasi tidak mengenal hak pengelolaan. Munculnya hak pengelolaan sebagai salah satu jenis hak akan mengakibatkan kekacauan penguasaan tanah. Karena di dalam Undang-Undang Cipta Kerja telah terjadi kesalahan pemaknaan dan juga implementasi hak menguasai negara. Sejatinya Negara bukan sebagai pemilik atas tanah namun hanya menguasai.
Adapun realitas politik hukum yang berlangsung hari ini sebagaimana yang disampaikan oleh “Hery” tergambar sebagai berikut:
- Kriminalisasi berjalan terus menerus;
- UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
- UU No. 18 Tahun 2013 tentang P3H
- UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
- PP No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Ps 54)
- Keluarnya Perpres No. 62 tentang penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional
Selanjutnya terdapat beberapa kondisi yang melestarikan yakni pemberian izin /hak kepada perusahaan-perusahaan ekstraktif, produksi perkebunan, kehutanan, dan konservasi. UUPA yang sejatinya ditempatkan sebagai UU payung hukum. Namun pada praktiknya UUPA disempitkan dan dibuat hanya mengurus area non-hutan (Sekitar 30% wilayah RI) serta prinsip-prinsip yang terkandung/tertuang di dalamnya diabaikan sama sekali. Pada gilirannya, peraturan perundang-undangan yang berpotensi meniadakan hak-hak masyarakat terus diterbitkan, serta semakin diperparah oleh di satu sisi ketiadaan mekanisme penyelesaian konflik agraria dan di sisi lain dilibatkannya TNI dalam penyelesaian konflik agraria.
Juga terdapat beberapa program/praktik yang digalakkan serta dilestarikan dari masa ke masa sehingga berdampak pada penghancuran sumber-sumber agraria di Indonesia, yaitu:
- Proyek Strategis Nasional
- Food Estate
- Green grabbing
- Pemulihan Ekonomi Nasional
Sebagai penutup Hery Pramono menyampaikan kepada peserta diskusi: Land = Money = Power = More Land = More Money = More Power = More and more Land
[1] Peneliti Magang di Agrarian Resource Center. Tulisan ini disunting oleh Alvin Waworuntu,
[2] Dianto Bachriadi, Melihat kembali ke belakang: Upaya-upaya mendorong terbitnya TAP MPR RI tentang Pembaruan Agraria, Seri working paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Paska Orde Baru, Vol. 1, No. 03/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resource Center, 2017).
[3] Hilda B. Alexander, “Konflik Agraria di Indonesia Tertinggi Dibanding Asia”, Kompas.com, 27 Februari, 2024. https://www.kompas.com/properti/read/2024/02/27/150000421/konflik-agraria-di-indonesia-tertinggi-dibanding-enam-negara-asia?page=all
[4] Dianto Bachriadi, 24.2: Manifesto Penataan Ulang Penguasaan Tanah ‘Kawasan Hutan’ (Bandung: ARC, 2020).
[5] Mochammad Tauchid, Masalah Agraria (Yogyakarta: STPN Press, 2009).