TPSA: Langkah Awal Menjadi Seorang Peneliti
Pada penghujung tahun 2022, saya terdaftar sebagai peserta Training Penelitian Sosial Agraria (TPSA). Kegiatan ini berlangsung di sekretariat Agrarian Resource Center (ARC) di Bandung selama sembilan hari. Sebagaimana dikutip dalam situs web ARC, TPSA merupakan salah satu kegiatan pelatihan kajian agraria kritis ARC yang ditujukan bagi semua orang yang memiliki minat serius pada penelitian, khususnya di bidang sosial dan agraria.
Sebelumnya, saat masa pendaftaran TPSA dibuka, saya termasuk orang yang kesulitan membuat concept note. Saya belum banyak tahu soal kajian agraria, apalagi kajian agraria kritis. Untungnya, ada seorang kawan yang bersedia memberi masukan dalam proses pembuatan concept note, meskipun hasilnya tidak memuaskan.
Selain itu, kendala lainnya soal biaya transportasi berangkat ke Bandung. Tapi itu semua terselesaikan. Jauh-jauh hari sebelum pengumuman kelulusan peserta resmi keluar, saya sudah membicarakannya dengan orang tua, dan akhirnya mereka menyetujui saya berangkat.
Singkat kata, setelah saya lulus, ini kali pertama saya ke Bandung. Sebelum berangkat, tak lupa saya kembali mengabari seorang kawan untuk meminta saran terkait rute perjalanan ke Bandung, berikut biaya yang dibutuhkan untuk menghemat ongkos perjalanan.
Pada 7 Desember 2022, Saya tiba di Bandung. Saya tiba lebih awal dari peserta lain, mengingat besoknya akan diadakan diskusi bertopik “Transnasionalisasi Gerakan Petani: Studi pada Perjuangan La Via Campesina”, yang merupakan ringkasan disertasi Kang Vey [Virtuous Setyaka], salah seorang peneliti tamu di ARC. Perlu diketahui bahwa pihak ARC sering kali mengundang para peneliti tamu yang telah selesai studi untuk mendiskusikan hasil studinya.
Setelah diskusi tersebut , para peserta TPSA 2022 mulai berdatangan. Waktu itu, kami masih canggung untuk saling sapa satu sama lain.
Sebelum istirahat, saya dan beberapa peserta yang lain membaca kembali concept note yang kami buat, mengingat kelas TPSA akan dimulai besok hingga sembilan hari ke depan.
Bagaimana TPSA berlangsung?
Tanggal 9 Desember 2022, TPSA secara resmi dibuka. Setelah pembukaan, kelas dimulai dengan presentasi concept note masing-masing peserta. Presentasi dimulai sejak pagi menjelang siang hingga sore menjelang magrib. Isu yang dibahas dalam masing-masing concept note peserta sangat beragam. Mulai dari isu land grabing, eksklusi, buruh migran, diferensiasi kelas, gerakan sosial, dan lain sebagainya.
Keberagaman isu yang diangkat oleh masing-masing peserta boleh jadi dipengaruhi oleh latar belakang yang berbeda-beda dari masing-masing peserta. Misalnya, Revan, seorang mahasiswa ITB yang setiap harinya bergelut dengan angka-angka, membuat desain risetnya tak jauh-jauh dari yang berbau matematis. Revan, dalam concept note-nya, ingin melihat secara matematis tingkat probabilitas land grabing di suatu wilayah, terkait kapan dan di mana land grabbing akan terjadi.
Contoh lainnya adalah Aldi. Seorang kawan yang murah senyum itu telah lama menceburkan diri dalam dunia gerakan. Sebagaimana Revan, Aldi dalam ingin membahas isu dan memahami gerakan sosial. Setelah presentasi kelar, kelas pun ditutup hari itu.
Hari kedua (10/12/22), salah seorang pendiri ARC, Dianto Bachriadi, membawakan materi berjudul “Prinsip, Logika, dan Etika Penelitian”. Materi ini mencakup pembahasan mengenai apa itu penelitian, bagaimana cara kerja penelitian, bagaimana penelitian yang baik, serta bagaimana prinsip, tata cara dan etika penelitian. Materinya padat dan kaya, tetapi mudah dipahami. Penjelasannya ringan dan bahan presentasi yang dibuatnya sangat membantu bagi kami dalam mengikuti materi.
Hari ketiga (11/12/22), kelas dimulai dengan melanjutkan materi kemarin yang belum selesai karena kendala waktu. Setelah materi tersebut selesai, materi berikutnya dibawakan oleh Yudi Bachrioktora dengan judul “Kajian Literatur dan Dokumen”. Sejak awal, Kang Yudi selalu menekankan pentingnya studi literatur dalam suatu penelitian. Dalam penjelasannya, Kang Yudi menekankan bahwa studi literatur berguna untuk mencari gap atau rumpang dari penelitian-penelitian terdahulu.
Frasa “berdiri di atas bahu raksasa” menjadi pembuka slide presentasi Kang Yudi. Frasa tersebut memiliki arti bahwa suatu penelitian dibangun dari, oleh, dan melalui penelitian-penelitian terdahulu. Materi selanjutnya, dibawakan oleh Hilma Safitri. Salah seorang pendiri ARC ini membawakan materi dengan judul “Metodologi Penelitian Agraria Kritis”. Hilma menekankan bahwa kajian agraria kritis lebih berfokus pada hubungan-hubungan sosial agraria, dalam arti relasi sosial menjadi unit analisa bukan pada lingkungan fisik semata. Perbedaan unit analisa inilah yang kemudian membedakan kajian agraria kritis dengan kajian lingkungan.
Hari keempat (12/12/22), dimulai dengan materi “Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian” oleh Muhammad Syafiq yang sekaligus merupakan Koordinator ARC. Dalam materi yang disampaikan, Syafiq banyak mengulas bagaimana cara merumuskan masalah dan membangun pertanyaan-pertanyaan penelitian dengan memberi contoh dan diskusi kelompok.
Setelah istirahat sejenak, materi berlanjut dengan pembahasan “Kerangka Teoritik dalam Kajian Sosial” yang dibawakan oleh Kang Yudi. Materi ini tak kalah pentingnya, karena melalui kerangka teoritiklah asumsi-asumsi atas fenomena yang diteliti dibangun.
Hari kelima (13/12/22), kelas dimulai dengan materi “Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data” yang dibawakan oleh Dianto Bachriadi dan Hilma Safitri secara bergantian. Dianto banyak mengulas metode penelitian dan macam-macam pendekatannya (terutama penelitian kualitatif). Sedangkan Hilma, banyak bercerita mengenai pengalaman di lapangan saat pengumpulan data. Sesekali, Hilma memberi trik yang biasanya ia gunakan saat proses pengumpulan data di lapangan berlangsung.
Seperti hari-hari sebelumnya, panitia pelaksana memberi waktu peserta untuk istirahat sebelum masuk ke materi selanjutnya. Seusai istirahat, materi selanjutnya ialah “Contoh Penyusunan Desain Penelitian” yang dibawakan oleh dua peneliti tamu ARC, Galih Andreanto dan Rizky Maulana Hakim. Sesi pertama contoh desain penelitian dimulai oleh Galih, kemudian dilanjutkan pada sesi kedua oleh Rizki.
Setelah semua materi dianggap kelar, masih tersisa waktu empat hari lagi sebelum TPSA ditutup. Sebagaimana yang dijadwalkan dalam rundown acara, tanggal 14-15 Desember adalah proses coaching dan penyusunan desain penelitian. Dalam kurun waktu dua hari itulah peserta berkomunikasi lebih intens dengan coach masing-masing untuk memantapkan desain risetnya. Meski tergolong singkat, seluruh peserta memanfaatkan waktu tersebut dengan sebaik-baiknya.
Sehari sebelumnya, sejak hari pertama TPSA seusai materi, kami akan melakukan coaching mulai pukul 21.00 hingga 01.00 WIB. Akan tetapi pada hari keenam dan ketujuh, proses coaching berlangsung dari pagi hingga malam. Beberapa dari kami (peserta) memilih mengurangi waktu istirahat untuk coaching dan mengerjakan desain riset.
Yang menarik dalam proses coaching, ide-ide yang kami tuangkan dalam desain riset merasa dihargai, meskipun desain riset kami buruk. Misal, fokus masalah yang masih belum jelas dan metodologi yang belum tepat. Alih-alih menyerah dan menyalahkan desain riset kami, para coach berusaha memahami, membimbing, dan memberi masukan agar desain riset yang kami buat menjadi lebih baik. Di sela-sela proses coaching berlangsung sengit, seseorang berkata dari kejauhan “jangan dibawa serius atuh, apalagi dijadikan sebagai ajang kompetisi. Slow saja, brother”.
Di hari coaching terakhir (15/12/22), tepat pukul 21.00 WIB, terpantau bahwa seluruh peserta telah mengumpulkan dokumen desain risetnya beserta bahan untuk presentasi besok. Apakah ini menandakan bahwa kami telah siap untuk presentasi esok hari?
Dua hari terakhir (16-17/12) adalah masa-masa yang “dikhawatirkan” peserta: presentasi desain riset. Para penanggap yang terdiri dari Dianto Bachriadi, Hilma Safitri, Erwin Suryana, dan Muhammad Syafiq, mengambil tempat di depan. Sedangkan Yudi Bachrioktora, selaku penanggap juga, berhalangan hadir secara fisik tapi hadir melalui Zoom.
Satu persatu peserta melakukan presentasi, setelahnya masing-masing penanggap akan memberi komentar. Tak jarang dari kami mendapat komentar yang tak mengenakkan. Misalnya, “gak ada yang bisa dikomentari dari desain risetmu ini” atau “logic penelitianmu ini belum dapat”. Singkatnya, desain riset yang kami buat masih banyak kekurangan, dengan tingkat yang berbeda-beda. Misalnya dari segi logika penelitian, metodologi, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, atau kerangka penelitian.
Apa boleh dikata, kami harus akui itu. Bukankah sebagai (calon) peneliti harus menjunjung tinggi sikap terbuka? Terbuka bukan hanya berani untuk dikritik, melainkan perlu ada pengakuan atas kekurangan dalam diri si (calon) peneliti.
Selama sembilan hari TPSA, kami bangun pagi, menahan kantuk di siang hari, dan begadang pada malam hari.Pada akhirnya kami harus menerima kenyataan bahwa desain riset yang kami buat masih banyak kekurangan. Banyak yang harus diperbaiki kembali. Atas pengalaman yang kita lalui bersama, mengutip Marx, “Tidak ada jalan yang mudah menuju ilmu pengetahuan, dan hanya ia yang tak gentar di setiap langkahnya dalam pendakian melelahkan itulah yang memiliki peluang meraih indahnya puncak yang terang nan bercahaya.”
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya berterima kasih kepada panitia, pembicara, para coach, serta seluruh peserta TPSA yang saya sayangi atas ilmu dan pengalaman berharga.
Agung Raka Pratama