Perspektif Pertanian Skala Kecil – Pemikiran Chayanov

Seri Diskusi 2017
Debat Agraria
24 Maret 2017
Catatan Diskusi Sesi – 3: Perspektif Pertanian Skala Kecil – Pemikiran Chayanov

Sesi ke-3 ini dihadiri oleh lebih dari 30 peserta, yang umumnya adalah mahasiswa dari berbagai kampus yang tidak hanya yang berada di kota Bandung. Cukup mengesankan, karena tema diskusi ini cukup menarik perhatian kelompok penerus pemikiran-pemikiran populis. Selain karena pemantik diskusinya merupakan pakar yang patut diperhitungkan keahliannya, Gunawan Wiradi, seorang ahli berdomisili di Bogor yang saat ini aktif di lembaga penelitian berbasis di kota Bogor, Sajogjo Institut. Diskusi pun berjalan cukup menarik, karena peserta juga tetap menghubungkan ide-ide dari sesi sebelumnya yaitu perspektif pertanian skala luas, juga perdebatan antara dua pemikir besar, Kautsky dan Lenin, yang melatarbelakangi perdebatan efektivitas pertanian skala kecil (pertanian keluarga) atau pertanian skala luas (kolektivisasi).
Untuk mengakomodasi banyaknya peserta yang baru tiba pada sesi ini, maka diskusi dimulai dengan review dua diskusi sebelumnya. Dianto Bachriadi mengantarkan sesi review ini dengan menguraikan sekali lagi tentang apa itu “Debat Agraria” dan dimana posisi diskusi hari ini, yaitu perspektif pertanian skala kecil yang diperkuat dengan pemikiran AV Chayanov didalam perdebatan tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan guru gerakan agraria di Indonesia, yaitu Gunawan Wiradi, dengan basis tulisan lama beliau yang masih sangat relevan untuk dipergunakan yaitu “Karya Chayanov Ditinjau Kembali” (1993).Kedua pemaparan tersebut mengantar diskusi yang efektif di antara peserta yang hadir tentang relevansinya pemikiran Chayanov untuk pembangunan pertanian di Indonesia saat ini.
Debat Agraria: Bagaimana Memperlakukan Kaum Tani di Era Kapitalisme
Sesi – 1 seri diskusi ini mengulas tentang pandangan Marx terhadap petani. Dianto kembali mengulas bahwa petani hidup di alam corak produksi kapitalis, mereka juga bagian terbesar dalam proses penyingkiran secara structural yang dikenal dengan istilah “primitive accumulation” khususnya diakibatkan oleh proses komodifikasi tanah secara massif, yang mengarah pada polarisasi formasi social: kelas borjuis dan proletar serta mengakibatkan karakter yang sulit ditentukan atau ambivalen di dalam tubuh kelompok yang disebut petani tersebut. Marx kemudian menegaskan bahwa petani tidak lebih dari kelompok yang memiliki karakter ‘pasrah’ atau diistilahkan dengan “petani sekarung kentang” (the 18th Brumaire of Louis Bonaparte), karena karakternya yang sulit untuk dikerahkan untuk menjadi pionir perubahan sosial atau menuju revolusi menuju sosialisme. Di sisi lain, ketika kelompok petani ini memiliki akses lebih banyak sedikit, maka karakter borjuasinya akan muncul, dimana mereka akan segera melakukan penghisapan atas petani lainnya yang lebih sedikit akses atas sumberdayanya. Dalam hal ini, Marx mengatakan bahwa mereka bisa dikelompokkan sebagai “petty bourgeouis” dan sekaligus sebagai kelas proletar.Hal ini juga terkait dengan bahwa masyarakat petani identik dengan corak produksi pra-kapitalis.
Hal-hal tersebut diatas yang kemudian menelurkan apa yang disebut masalah agraria atau the agrarian question di kalangan kelompok Marxian. Setidaknya ada tiga pertanyaan besar, yaitu (1) Bagaimana kapitalisme berkembang di pedesaan, pada masyarakat yang didominasi oleh kaum tani dan kegiatan produksi petani ?yang diikuti dengan pertanyaan, bagaimana kapitalisme pertanian tumbuh/berkembang, dan hubungannya dengan perkembangan industri ?dan bagaimana posisi kaum tani dalam perkembangan kapitalisme di pedesaan tersebut ?; (2) Bagaimana formasi kelas pekerja (proletar) di pedesaan khususnya terbentuk?; dan (3) Bagaimana mengorganisir petani untuk revolusi sosialis (: apakah petani kelompok masyarakat yang potensial untuk menggerakan revolusi atau perjuangan kelas)?Banyak ahli mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan pengalaman observasinya dan analisisnya dalam konteks wilayah yang berbeda-beda pula.Jawabannya beragam-ragam dan tidak pernah tersimpulkan secara utuh.Selain konteks wilayahnya yang berbeda, masing-masing dari mereka juga memiliki kacamata yang berbeda-beda dalam melihat fenomena masyarakat di pedesaan.
Atas sejumlah jawaban-jawaban tersebut, terdapat lima proposisi terkait dengan petani dan masyarakat pedesaan. Jawabannya bisa dirujuk ke dua arus pemikiran besar yaitu Kautsky dan Lenin, yang masing-masing menghasilkan karya yang menjadi rujukan bagi para pemerhati masalah agraria. Kautsky dengan bukunya yang berjudul “the Agrarian Question” (AQ) (dua jilid) dan Lenin dengan bukunya berjudul “the Development of Capitalism in Russia” (DCR). Kedua karya tersebut bersumber dari analisis data-data statistic yang memadai di Rusia. Kautsky menyusun analisisnya, terutama, untuk menjawab tantangan atas ditolaknya program agraria di Kongres SPD (Partai Sosialis Demokrat Jerman) tahun 1895, yang kemudian diminta melakukan analisis mendalam terlebih dahulu sebelum mengajukan program agraria partai. Secara khusus AQ disusun juga untuk menolak argumen teoritik ahli agraria dari kaum Revisionis, seperti Eduard David & Friedrich Otto Hertz yang mengatakan bahwa “produksi pertanian ditentukan oleh alam dan tidak mudah diubah, berbeda dengan industri. Karena itu pertanian keluarga yang intensif akan lebih unggul dibanding perusahaan besar pertanian. Sensus Pertanian 1895 menunjukan stabilitas dan keunggulan smallholders yang tidak terpengaruh hukum ekonomi.”Sementara karya Lenin yang diterbitkan tahun 1899, dimaksudkan sebagai counter-analysis dari kaum Narodnik terhadap pertanyaan ‘bagaimana pasar lokal terbentuk di masyarakat kapitalis Rusia?’ Bagi kaum Narodnik, petani adalah mayoritas populasi, karena itu revolusi sosial harus bertumpu pada kaum tani; (di Rusia) sosialisme dapat dibangun tanpa perlu menunggu kapitalisme berkembang; (di Rusia) pasar domestik/lokal tidak dapat berkembang karena produksi petani dan pengrajin bukan bercorak kapitalis dan tidak cocok dengan kapitalisme. Pada poin ini, pemikiran yang akan didiskusikan hari ini, yaitu AV Chayanov bisa ditemukan, dan Lenin juga mengisyaratkan kesalahan pemahaman kaum Narodnik tentang petani.
Proposisi Pertama, Diferensiasi kelas pada kaum tani adalah dampak dari penetrasi capital. Sejalan dengan pemikiran Marx yang sudah diuraikan diawal, bahwa petani akan hilang dengan sendirinya (cepat atau lambat) karena komodifikasi tanah yang terus menerus. Hal ini akan mengubah pola penguasaan tanah dan tenaga kerja, dan merupakan masa transisi dari corak produksi feudal ke kapitalis. Kelas-kelas di pedesaan akan terpolarisasi menjadi kelas proletar pedesaan dan petani kapitalis (capitalist farmer). Jika para petani masih ada (persisted), maka itu dikarenakan corak produksi kapitalis masih memerlukan kaum tani dan pertanian skala kecilnya sebagai ‘production sites of labour-power’ (menjadi penyedia tenaga kerja murah untuk industri, sekaligus menyerap tenaga kerja yang berlebih) (: dalam proses ini Negara kapitalis menjadi menyedia fasilitas dan pemelihara sites tersebut, sekaligus pengambil manfaat untuk pengerahan tenaga kerja tak berupah).
Proposisi kedua, produksi petani (peasant production) sebagai bagian integral dari ekonomi dan masyarakat kapitalis.Petani pada dasarnya adalah, dan selalu, bagian dari masyarakat feudal.Sistim pertanian yang dikembangkan bertransformasi menjadi produksi komoditas, yang pada perkembangan ekonomi komoditas kapitalistik bersandar pada pembagian kelas secara sosial, termasuk di masyarakat petani.Begitupun pertumbuhan ekonomi komoditas pertanian juga mendorong terbentuknya pasar domestic/lokal yang menjadi basis tumbuh dan kembangnya kapitalisme.Demikian seterusnya, kaum tani dilibatkan di dalam corak produksi kapitalis, terkait dengan kondisi tanah yang tidak bisa direproduksi dan karakter subsistensi petani yang tidak bisa dinilai melalui mekanisme pasar. Maka, family farms menjadi satu kategori dalam kegiatan produksi di alam produksi kapitalis.
Proposisi ketiga, over-exploitation terhadap tenaga kerja petani (kaum tani).Pertanian adalah bagian penting dalam sistim kapitalisme, karena salah satunya adalah harga petani/nilai upah kerja petani (dan keluarganya) selalu lebih rendah dari nilai rata-rata upah tenaga kerja.Walaupun pertanian skala luas dinilai lebih efisien dan efektif dibandingkan peasant-farming, tetapi karakter kaum tani siap dengan penyesuaian konsumsi mereka, hingga titik underconsumption, dan mampu bekerja melebihi kemampuannya sendiri (excessive labour). Lenin menyebutnya sebagai “plunder of labour of the peasant”. Seiring dengan corak pertanian komersial yang menumbuhkan tingkat kebutuhan dan sekaligus membentuk tenaga kerja upahan, dan secara bersamaan telah menjebak kaum tani dalam jebakan kemiskinan (poverty trap) ketika family farming tetap dipertahankan untuk dijadikan sumber tenaga kerja (murah) untuk industry pertanian dan industry kapitalis.Marx menyebutnya sebagai the nomad of working class. Dengan demikian, maka keberlanjutan proses akumulasi primitif terus berlanjut.
Proposisi keempat, teknologi versus produksi pertanian. Kaum tani akan dengan sendirinya hilang akibat dari perkembangan teknologi, bukan karena perkembangan kapitalisme atau berkembangnya sosialisme secara keseluruhan. Posisi petani akan tergantikan dengan temuan teknologi tersebut. Kautsky mengatakan bahwa “Peasantry tidak perlu diperhitungkan baik secara ekonomi maupun politis jika kita menengok pada skenario sejarah masa depan yang tak terhindarkan”.
Proposisi kelima, peran petani dalam revolusi sosial dan apa yang diharapkan partai dari kaum tani. Kautsky melihat bahwa petani perannya tidak penting dalam revolusi sosial, mereka adalah kelompok yang konservatif dan tidak progresif, sementara Lenin melihat bahwa kaum tani merupakan kelompok potensial dan progresif (seperti juga diuraikan oleh Eric Wolf), terutama petani menengah dan mereka bukan kelompok yang reaksioner. Kautsky melihat bahwa kekuatan politik petani tidak setara dengan kekuatan ekonomi yang dibangunnya, sehingga dalam proses perubahan sosial, petani – jika tidak hilang dari formasi sosial yang ada – akan termarjinalisasi. Hal ini, menurut Kautsky, karena kekuatan inti di masa datang adalah industry kapitalis dimana keberadaan petani tidak lagi relevan.Kesimpulannya, petani sebaiknya dinetralisir, bukan dimobilisasi untuk mendorong perubahan.Sementara Lenin melihat secara taktis politis, untuk revolusi sosialisme ini adalah membangun aliansi kaum buruh dan kelompok demokratis borjuasi kecil dan kaum tani, yang ditempuh dengan jalan membangun pertanian kolektif yang dikelola oleh koperasi petani kecil yang lahannya dikuasai oleh Negara.
Pokok-pokok Pikiran Chayanov tentang Ekonomi Petani (Skala Kecil)
Chayanov memulai pengungkapan teorinya dari hasil penelitiannya yang dilakukan bertahun-tahun serta analisa data statistic makro sepanjang tahun 1882 hingga 1911. Tujuannya adalah untuk menyanggah interpretasi Lenin atas apa yang terjadi di pedesaan Rusia saat itu. Chayanov memandang atas tiga hal untuk memberikan sanggahannya, yaitu pertama, teori ekonomi modern terlampau rumit untuk membaca kondisi umum di Rusia pada saat itu, karena ada lima hal dalam teori ekonomi modern tersebut yang sangat bergantung satu sama lain dan akan runtuh jika salah satunya tidak kokoh, yaitu harga, kapital, upah, bunga dan sewa. Sementara, hal kedua yang menjadi dasar pemikiran teorinya adalah temuan bahwa kondisi pedesaan Rusia adalah peasant ownership without hired labour, dimana petani memiliki/menguasai sarana produksi (tanah dan aset pertanian lainnya) tetapi mereka tidak mengenal sistim pengupahan dalam proses produksi. Karena itu, dasar ketiganya, untuk melihat masyarakat petani tidak bisa dilihat dari kacamatan teori ekonomi umum, melainkan, kelompok ini harus diperlakukan sebagai satu “sistem ekonomi tersendiri” dengan rationale ekonomi yang khas.
Ketiga dasar pemikiran diatas kemudian merumuskan beberapa proposisi tentang teori ekonomi petani Chayanov. Ada tiga proposisi pokok, yaitu (1) tidak ada pasar tenaga kerja, karena mereka menggunakan tenaga kerja dalam keluarga dan juga karena mereka merupakan satuan-satuan usahatani keluarga; (2) menjaga keseimbangan consumer-labour ratio, yang kemudian disebut sebagai karakter subsistent, karena mereka tidak mengenal istilah profit maximization karena mereka juga menjaga keseimbangan level drudgery-utility ratio. Dengan kata lain, mereka akan berhenti jika mereka sudah dapat pada taraf menghidupi anggota keluarganya dan akan beradaptasi untuk mengerahkan tenaganya untuk setiap perubahan kebutuhan keluarganya agar tetap seimbang; (3) masyarakat petani memiliki jangkauan terbuka atas lahan garapannya.
Dari ketiga proposisi tersebut diatas, maka implikasi terhadap kegiatan ekonomi petani yang berlangsung akan mempengaruhi strategi kaum tani. Besarnya keluarga, termasuk kebutuhan harian dan ketersediaan tenaga, akan mempengaruhi luas tanah garapan. Untuk menjaga keseimbangan rasio consumer-labor maka setiap saat akan menyesuaikan jumlah jam kerja untuk mendapatkan hasil yang lebih untuk memenuhi pertambahan jumlah anggota keluarga. Karena itu, produktivitas tenaga kerja pun akan terpengaruh, dan kemudian dikenal istilah self-exploitation of labour power, karena dalam setiap rumah tangga keseimbangan consumer-labour akan menentukan nilai total output per capita.
Corak produksi seperti diatas menyulitkan kaum tani untuk memposisikan dirinya dalam masyarakat yang lebih luas.Hal ini disebabkan karena mereka selalu berada dalam kondisi “kesejahteraan relatif”. Konsekuensinya, mereka tidak juga bisa mengkonsolidasikan dirinya sebagai suatu “kelas”, dengan kata lain bahwa suatu saat kelompok petani kaya akan menjadi miskin dan sebaliknya. Di sini kemudian disimpulkan bahwa tidak ada diferensiasi kelas di pedesaan, yang terjadi adalah diferensiasi demografi.
Chayanov juga kemudian memberikan proposisi implikatifnya untuk kaum tani di pedesaan. Bagi Chayanov, modernisasi masyarakat petani hanya dapat dilakukan dengan caraintegrasi vertical, bukan dengan integrasi horizontal (kolektivisasi), yaitu terintegrasi sejumlah usahatani keluarga yang tersebar dimana-mana dalam satu unit besar usahatani keluarga. Hal ini terkait dengan penolakan konsep kolektivisasi oleh Negara yang dicetuskan oleh Lenin.Mereka juga sangat rentan untuk diberikan modal yang melebihi kemampuannya untuk berproduksi, dimana kemampuannya itu sendiri hanya bisa ditentukan oleh petani itu sendiri, ini yang disebut kondisi internal economic contradiction. Hal ini berkenaan dengan konsep labour drudgery yang menjadi salah satu inti dari kegiatan ekonomi petani.
Menurut Gunawan Wiradi, dalam tulisannya “Karya Chayanov ditinjau Kembali”, proposisi Chayanov diatas perlu dilihat relevansinya bagi kondisi pedesaan kita saat ini. Ketiga proposisi pokok tersebut sangat baik untuk membantu dalam rangka menggambarkan model ideal.Isu keberadaan tenaga kerja di pedesaan menjadi pertanyaan besar atau kemudian lebih lanjut diikuti dengan perdebatan apakah yang dimaksud dengan pasar tenaga kerja? Isu lain adalah tentang konsep subsisten petani dan tentang masih berlakunya prilaku petani yang disebut dengan istilah labour drudgery. Isu lainnya adalah tentang kesiapan lahan garapan yang bisa dibuka untuk melakukan penyeimbangan berkembangnya jumlah anggota keluarga, karena kondisi saat ini, di wilayah pedesaan manapun, sudah sangat padat atau wilayah-wilayahnya sudah diklaim atau diperuntukkan untuk kebutuhan lain dengan pemberian hak tertentu.
Bahan Bacaan untuk Pendalaman:
- Wiradi, Gunawan, “Pengantar Ringkas: Untuk Presentasi Diskusi Mengenai Tema Classical Agrarian Debate (CAD) dan the Agrarian Question (TAQ)”
- Wiradi, Gunawan, 1993, “Karya Chayanov Ditinjau Kembali”, Bahan diskusi Ikatan Sosiologi Indonesia Cabang Bogor, Juli 1993.
- Van der Ploeg, Jan Douwe, 2013, “Peasant and the Art of Farming: a Chayanovian Manifesto”, Agrarian Change and Peasant Studies Series, Halifax dan Winnipeg: Fernwood Publishing.
Sesi Diskusi selanjutnya tentang “Koperasi Petani Chayanovian dan Kondisi Koperasi Petani Indonesia Kini”, tanggal 11 April 2017, di Sekretariat ARC, jam 14.00-17.00.
— HS (03042017) –
