Get In Touch

Pembahasan Naskah Rekomendasi Kebijakan Sawit Rakyat Berkelanjutan

Walau terkendala pandemik, Seminar Naskah Rekomendasi Kebijakan Sawit Rakyat Berkelanjutan tetap digelar Agrarian Resources Center (ARC) secara daring, Kamis, 25 Juni 2020. Pemaparan naskah rekomendasi kebijakan oleh Tim Penyusun Policy Brief ARC adalah agenda utama dalam acara yang menjadi bagian dari rangkaian kegiatan Sekolah Agraria Kritis (SAK) 2019 ini.

Seminar ini dihadiri Profesor Endriatmo Soetarto (IPB Bogor), Dr Sudarsono Soedomo (IPB Bogor), Profesor Kosuke Mizuno (Universitas Kyoto, Jepang), dan rekan-rekan dari SPOS-Kehati, sebagai penanggap. Hadir pula sekitar 35 peserta umum dari berbagai organisasi.

Naskah berjudul “Sawit Rakyat: Kuat, Mengakar, dan Mandiri” itu merupakan hasil kajian Tim Penyusun Policy Brief ARC  ditambah temuan-temuan lapangan delapan peneliti SAK 2019 di delapan provinsi. Dari naskah itu diharapkan nantinya pemangku kebijakan di Indonesia mendapat pandangan tentang “resolusi agraria” terkait sawit dalam kawasan hutan dan keberlanjutan usaha tani sawit rakyat berbasis karakteristik wilayah.

Dalam seminar ini, Tim Penyusun mengutarakan tiga isu utama yang terdapat dalam naskah rekomendasi. Tiga isu itu antara lain: (1) produktivitas sawit rakyat, (2) kepastian lahan, dan (3) pengembangan usaha tani sawit rakyat untuk menjamin keberlanjutan. Lalu dilanjutkan dengan membahas latar belakang gagasan yang ada dalam naskah. Satu per satu permasalahan di lapangan digambarkan. Menurut Tim Penyusun, boom kelapa sawit menghadirkan banyak masalah yang tidak dapat dihindari, sekaligus juga tidak dapat disepelekan.

Masalah yang dimaksud, salah satunya, produktivitas perkebunan sawit yang dipengaruhi oleh luasan lahan. Kebun sawit rakyat yang lahannya kurang dari 5 hektar, produktivitasnya rendah dibanding perkebunan perusahaan besar swasta (PBS) dan perusahaan besar negara (PBN). Namun, pekebun sawit rakyat yang membentuk unit usaha tani bersama dan dapat mengonsolidasi lahan secara kolektif, bisa memiliki produktivitas lebih tinggi dari PBS dan PBN.

Di tingkat lokal, pekebun sawit rakyat dihadapkan pada harga jual tandan buah segar (TBS) rendah. Hal tersebut terjadi akibat panjangnya rantai pasok yang harus ditempuh TBS sawit rakyat sebelum sampai ke pabrik kelapa sawit (PKS). Regulasi yang mengatur harga TBS sekarang, menurut Tim Penyusun, kurang menguntungkan pekebun sawit rakyat. Belum lagi persoalan sertifikasi, legalitas lahan, fasilitas modal dan pemasaran, optimalisasi produksi, kawasan hutan, dan  masih banyak hal lain yang membuat para petani semakin terperangkap pada pusaran industri sawit.

Beragam bahasan dalam paparan menjelaskan tentang rumus penetapan harga TBS, konsolidasi lahan, hilirisasi, penataan ulang kawasan, serta melihat titik produktivitas optimum keberlanjutan usaha sawit rakyat. Setidaknya ada tiga skema usulan pelepasan kawasan hutan yang diajukan Tim Penyusun. Skema 1, pelepasan kawasan hutan produksi yang tidak berhutan atau dalam kondisi rusak seluas 24,2 juta hektar. Skema 2, pelepasan 3,5 juta hektar kebun sawit yang ada di dalam kawasan hutan—baik yang dikuasai perusahaan maupun sawit rakyat. Skema 3, enclave 1,4 juta hektar sawit rakyat yang ada dalam kawasan hutan.

Ada dua poin penting lain dalam naskah ini. Di antaranya ialah tentang kelembagaan petani dan kepastian lahan, agar para petani sawit rakyat dapat menjadi bagian dari aktor utama dalam rantai produksi minyak sawit . Barulah dapat disebut adanya sustainability atau keberlanjutan dari usaha tani sawit rakyat. Tanpa itu, upaya usaha tani sawit rakyat hanya sebatas retorika belaka.

Selesai pemaparan, para ahli memberi tanggapan. Secara umum, selain mengajukan kritik dan pertanyaan, para ahli dan penanggap memberikan pandangan dan detail baru untuk memperkaya isi naskah tersebut. Hal-hal lain seperti soal pendekatan model koperasi dan korporasi, momentum gerakan petani, pembonceng gelap, kawasan hutan dan lahan kosong lainnya, kerentanan praktek perkoperasian, industrialisasi, dan masukan-masukan teknis terkait informasi dalam naskah, tak luput dari pendiskusian.

Semua masukan juga kritik dari penanggap dan peserta seminat ditanggapi kembali oleh Tim Penyusun. Bagi Tim Penyusun, masukan dan kritik yang muncul akan membantu dalam penyusunan naskah rekomendasi yang lebih ringkas agar mudah dibaca kalangan pembentuk kebijakan.  Secara keseluruhan, seminar daring yang berlangsung sekitar 3,5 jam ini berjalan lancar dan menghasilkan poin-poin pembahasan yang penting untuk melangkah ke tahap selanjutnya.

Fatchur Rohman