Berjuang Untuk Tanah
Jakarta, 1953: D.N. Aidit, salah satu rising star PKI melansir analisisnya tentang masyarakat agraris Indonesia. Ia mengatakan revolusi agraria harus menjadi inti dari “revolusi demokratik” di Indonesia. Pada Kongres PKI ke-5, setahun kemudian, PKI mengadopsi analisis Aidit sebagai dasar dari program agraria partai. Program tersebut menyerukan pentingnya untuk membangun kekuatan massa di pedesaan dan menjadikan land reform yang menggunakan slogan “tanah untuk petani” sebagai agenda perjuangan utamanya.
Dua belas tahun kemudian, Aidit terbunuh dan PKI dihancurleburkan. Gelombang pembunuhan terjadi di ribuan tempat, khususnya di desa-desa. Kekuatan militer dan aliansi-nya mengejar ribuan kader dan aktivis yang dianggap sebagai motor utama perjuangan PKI untuk land reform. Rezim orde baru yang kemudian berkuasa dengan militer sebagai inti kekuatannya, membuat serangkaian kebijakan untuk depolitisasi di pedesaan, menghilangkan Gerakan kiri secara permanen dan mengharamkan kebebasan berorganisasi bagi kaum tani.
Namun, kekerasan 1965-1966 tidak menghilangkan sentralitas masalah agraria dalam kehidupan politik di Indonesia. Juga tidak membasmi gerakan sosial pedesaan. Inti masalahnya, sebagaimana dianalisis oleh Aidit pada tahun 1953, yakni ketunakismaan dan ketimpangan yang sangat tajam di pedesaan terus berlanjut menjadi karakter pedesaan Indonesia hingga saat ini. Dengan terkonsolidasinya rezim orba, masalah akut itu malah semakin akut akibat beragam kebijakan pemberian izin dan perluasan lahan-lahan untuk perkebunan besar dan kepentingan bisnis lainnya. Selama bertahun-tahun, hanya satu dekade pasca pembantaian 1965-66, seiring dengan penindasan yang terjadi di mana-mana, gerakan-gerakan kelompok petani miskin dan mereka yang direbut haknya Meletus di banyak tempat di pedesaan di Indonesia.
Mobilisasi pedesaan lebih cepat lagi setelah jatuhnya rezim orde baru pada tahun 1998. Di banyak tempat, petani melakukan pendudukan tanah yang sebelumnya dirampas dari mereka atau dari orang tua mereka. Serikat-serikat petani dan organisasi gerakan sosial pedesaan muncul bak cendawan, dan beberapa di antaranya memiliki ribuan anggota. Meskipun begitu, seiring dengan waktu dan kontradiksi internal di dalam tubuh organisasinya, setelah kelompok-kelompok gerakan pedesaan itu berhasil mengembalikan reforma agraria ke dalam panggung politik nasional, mereka sekarang terfragmentasi dan terlokalisir dengan orientasi masing-masing. Mimpi Aidit dan para pejuang kiri tentang revolusi agrarian belum lagi terwujud, dan mungkin akan semakin sulit terwujud. Tetapi gerakan sosial pedesaan telah kembali sebagai bagian dari kehidupan politik di Indonesia dan (tetap) menjadi bagian dari gerakan kiri Indonesia.
Tradisi radikalisme pedesaan
Ketika PKI membuat perubahan strateginya pada pertengahan 1950-an, partai ini mengalami kemajuan yang luar biasa. Tahun 1953, kurang dari 7% petani yang diorganisir. PKI dan afiliasinya—BTI—memulai kerjanya dengan cara memoderasi aksi-aksinya dalam rangka menolong petani untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, sosial, dan budayanya. Banyak petani miskin tertarik kemudian terlibat dalam program ini dan dengan visi partai untuk keadilan sosial. Sebagian lainnya terlibat masuk dalam partai karena kerasnya kemiskinan pedesaan dan ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah. Baik PKI dan BTI tumbuh dengan cepat di pedesaan. Tahun 1955, BTI mendeklarasikan keanggotaannya mencapai 3 juta anggota, dan PKI menduduki peringkat ke-4 dalam Pemilu 1955 dengan pemilih mayoritas di pedesaan.
Ketika UU Perjanjian Bagi Hasil dan UU Pokok Agraria diterbitkan tahun 1960, kelompok kiri mendapatkan kesempatan lain untuk melakukan mobilisasi massa di pedesaan. UU tersebut menyediakan payung hukum bagi PKI dan BTI untuk menaikkan tuntutan mereka dalam rangka melenyapkan feodalisme. BTI menyebutnya “tanah untuk penggarap” (“land to the tillers”) dan berkampanye agar petani penggarap menerima bagian yang adil atas kegiatan produktif yang mereka lakukan: dituntut bagi hasil dengan rasio 60 : 40 atau minimal 50 : 50; bertolak belakang dengan tradisi bagi hasil pada umumnya sebesar 20 : 80 atau 25 : 75 yang ditetapkan oleh pemilik lahan. Pada tahun 1962 BTI telah memiliki 5 juta anggota.
Ketika pemilik lahan dan aliansi mereka di pemerintahan lokal menolak penerapan kedua UU tersebut, radikalisme pedesaan adalah akibatnya. PKI mengumandangkan kampanye untuk menghabisi “7 setan desa”, dan BTI mencoba untuk mengkampanyekan pendudukan lahan oleh petani miskin, yang oleh banyak kalangan disebut dengan “aksi sepihak”.
Tetapi, banyak tuan tanah dan oponen anti-reform di pedesaan berafiliasi dengan partai-partai besar lainnya seperti PNI dan NU. Masalah agraria telah bergeser menjadi masalah politik dan kekuasaan. PKI berusaha “menyelamatkan” radikalisme pedesaan dengan berkompromi terlibat da;a, pembentukan front politik di tingkat nasional bersama dengan partai-partai besar lainnya yang berkomitkan bersama Presiden Soekarno untuk menjadi pengawal demokrasi. PKI kemudian menghentikan kampanye radikalisme pedesaan. Tetapi perubahan strategi itu tidak cukup untuk menghentikan kekerasan antara proponen dan oponen reforma agraria yang makin meningkat dan meluas.
Ini merupakan latar belakang tragedi anti-komunis 1965-66. Radikalisme pedesaan telah medorong oponen PKI mengubah konflik berbasis kelas menjadi konfrontasi berbasi agama: simpatisan sayap kiri revolusi agraria dianggap sebagai ateis—stigma politik yang mematikan. Kelompok anti-komunis di pedesaan pada tahun 1965-66 menyiagakan anggota-anggotanya, bersama dukungan militer, kemudian terlibat dalam banyak pembunuhan, tidak hanya terhadap pendukung dan anggota PKI/BTI, tetapi juga rakyat biasa—kaum tani miskin yang berharap pada partai progresif untuk mengubah kehidupan ekonomi dan sosial mereka. Rezim orde baru kemudian berkuasa. Mobilisasi massa di pedesaan untuk perubahan sosial yang radikal tiba-tiba berhenti.
Menolak pembangunanisme
TETAPI rezim orde baru tidak secara permanen mengakhiri pergolakan pedesaan. Keberadaan “proyek-proyek pembangunan” berorientasi komersial yang menyebabkan masifnya penggusuran tanah di Nusantara telah menyulut kembali radikalisme di pedesaan. Ribuan rakyat pedesaan mengalami pengusiran secara brutal dari tanahnya—satu-satunya sumber mata pencaharian mereka. Seringkali mereka menerima kompensasi yang sangat tidak layak. Kekerasan-kekerasan dan sejumlah pelanggaran HAM terjadi atas nama “pembangunan”.
Politik represif rezim untuk menguasai seluruh kehidupan pedesaan tidak menghentikan perlawanan para korban “pembangunan” tersebut. Awal tahun 1970-an, konflik-konflik tanah mulai meletus sebagai perlawanan rakyat lokal untuk bertahan dari penggusuran. Database konflik yang dikompilasi oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) merekam lebih dari 1.750 kasus konflik tanah selama era orde baru. Komnas HAM melaporkan bahwa sejak lembaga ini berdiri pada tahun 1993, konflik tanah merupakan jenis pengaduan terbesar yang diterimanya.
Akibat represi politik di pedesaan, ketiadaan kebebasan pers, dan kemerdekaan organisasi tani, kisah-kisah perlawanan lokal terhadap penggusuran memang tidak terlalu banyak terdengar. Banyak dari mereka yang menyala kemudian mati tanpa jejak. Suara-suara perlawanan itu baru terdengar kembali gaungnya ketika sejak 1970-an aktivis kelas menengah perkotaan yang kritis mulai menjadi jangkar dan pendamping bagi gerakan-gerakan protes di pedesaan. Kelompok ini menyuarakan masalah lokal tentang penggusuran tanah dan pelanggaran HAM di pedesaan kepada publik nasional, dan mereka menghubungkannya kepada pertentangan politik yang lebih luas untuk melawan rezim orde baru.
Kemudian, sejak pertengahan hingga akhir 1970-an, Dewan Mahasiswa berbagai universitas mulai menyuarakan perlawanannya terhadap kebrutalan dalam proses penggusuran paksa. Selama 1980 – 1990-an, aktivis NGO dan kelompok mahasiswa mengorganisir diri ke dalam komite-komite aksi untuk mengampanyekan sejumlah konflik tanah yang terjadi berbagai pelosok negeri. Kelompok-kelompok tersebut telah bertindak sebagaimana mestinya organisasi tani dan partai politik yang seharusnya membela hak atas tanah petani.
Kemudian, tahun 1990-an, beberapa aktivis pemuda yang berorientasi kiri—tetapi tidak terhubung secara langsung dengan gerakan komunis 1960-an—mencoba untuk menghidupkan kembali gerakan kiri di pedesaan. Mereka mencoba mentransformasi pengalaman-pengalaman perlawanan petani di tingkat lokal melawan penggusuran tanah ke dalam organisasi-organisasi tani lokal yang otonom. Aktivis-aktivis tersebut membangun program baru pendidikan politik untuk aktivis-aktivis pedesaan, dan mencoba mendorong orientasi perjuangan petani tidak hanya untuk mendapatkan kompensasi yang layak. Mereka memposisikan kembali massa petani dan pedesaan sebagai soko guru perubahan sosial yang radikal di Indonesia, dan mereka menghidupkan kembali reforma agraria sebagai tujuan sentral gerakan sosial pedesaan.
Pada awal 1990-an, Serikat Petani Jawa Barat (SPJB) didirikan, menjadi serikat petani otonom pertama pasca 1965. SPJB merupakan koalisi aktivis perkotaan dan pimpinan petani di tingkat lokal di mana kasus-kasus konflik tanah terjadi di Jawa Barat. Tujuannya adalah sebagai langkah awal untuk pembentukan koalisi organisasi tani di tingkat nasional. Kemudian jaringan pelajar/mahasiswa dan aktivis NGO terpusat di lingkaran-lingkaran penting di berbagai kota, dari Sumatera Utara hingga ke Jawa Tengah (Asahan-Bandar-Lampung-Bandung-Jogjakarta) membentuk beberapa serikat petani di tingkat lokal, seperti Serikat Petani Mandiri Jawa Tengah (SPMJT), Persatuan Insan Tani Lampung (PITL), dan Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU).
Jaringan ini, bersama-sama dengan kelompok mahasiswa lainnya, NGO dan beberapa pimpinan tani lokal berkomitmen untuk membangun embrio organisasi petani yang independen di tingkat nasional. Di Lembang, Jawa Barat, tahun 1993 mereka mendeklarasikan dasar-dasar Organisasi Tani Indonesia. Pada tahun yang sama di Jawa Tengah, beberapa aktivis kiri radikal lainnya membentuk Serikat Tani Nasional (STN) sebagai bagian dari upaya mereka untuk membentuk gerakan radikal yang luas yang terpusat pada partai politik yang berorientasi kiri, Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Scalling Up
SINGKATNYA, meskipun represi, kekerasan, dan penangkapan terus berlanjut selama era orde baru, tetap gagal menghalangi tumbuhnya kembali gerakan-gerakan rakyat, termasuk di pedesaan, yang menantang supremasi kekuasaan penindas dan anti-reform. Sejak pertengahan 1990, tidak hanya serikat petani embrio yang muncul, tetapi koalisi nasional baru juga muncul, KPA, pada tahun 1994 dengan tujuan utamanya adalah mempromosikan gagasan yang ditolak sejak lama, yaitu reforma agraria.
Ketika Soeharto lengser tahun 1998, hambatan formal terhadap organisasi yang independen berakhir dan seluruh jenis gerakan sosial meluas dengan sangat cepat. Upaya untuk membangun organisasi tani semakin cepat. Inisiatif utamanya diambil oleh aktivis SPSU dari Sumatera Utara, pada pertengahan 1998—hanya berselang beberapa minggu setelah Soeharto mundur—Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) dibentuk. Dalam beberapa tahun kemudian beberapa organisasi tani lain—Aliansi Petani Indonesia (API), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), dan Petani Mandiri—juga dibentuk dan bersama dengan STN yang telah lebih dahulu terbentuk mengklaim diri sebagai organisasi tani nasional.
Namun, upaya-upaya tersebut kurang berhasil mengonsolidasi gerakan di tingkat nasional, karena dinamika mobilisasi petani masih berorientasi lokal. Lebih-lebih, organisasi tingkat nasional ini berkompetisi satu sama lain untuk mengklaim bahwa dirinya merupakan “wakil dari petani Indonesia”. Banyak serikat-serikat lokal tidak hanya berafiliasi kepada satu dari mereka, kebanyakan dari mereka berafiliasi kepada 2 atau bahkan 3 dari organisasi-organisasi tingkat nasional ini, sebagai strategi mereka untuk memanfaatkan sebanyak-banyaknya hubungan dengan dinamika politik yang terjadi di tingkat nasional.
Demokratisasi dan lokalisasi
SEJAK lama, salah satu hal yang penting dalam pembangunan gerakan tani adalah munculnya kembali strategi pendudukan tanah. Awal 1980-an dan lebih cepat lagi setelah 1998, di banyak tempat di Indonesia sejumlah kelompok-kelompok petani mengambil alih dan memulai kembali penggarapan lahan yang mereka klaim sebagai miliknya atau sebagai haknya. Strategi aksi-aksi langsung ini memiliki kesamaan dengan gerakan petani radikal tahun 60-an. Namun tidak seperti yang terjadi tahun 1960-an, rakyat tidak menargetkan tanah-tanah yang dimiliki oleh tuan tanah di mana mereka juga menjadi bagian dari masyarakat pedesaan. Melainkan mereka menduduki tanah-tanah negara—termasuk tanah hutan negara—atau tanah yang dipergunakan oleh perusahaan perkebunan atau untuk keperluan komersial lainnya. Kebanyakan dari mereka menduduki seluruh tanah yang sebelumnya mereka kuasai lalu tergusur dari tanah tersebut. Sebagian mengambil alih tanah yang mereka butuhkan untuk memenuhi kebutuhan hak-hak sosial dan ekonomi demi penghidupan yang layak.
Pendudukan tanah yang berkembang seperti diuraikan diatas terjadi pada saat negara dan kekuasaan melemah setelah jatuhnya rezim Soeharto. Banyak kelompok-kelompok tani mengambil kembali tanah yang diterlantarkan oleh rezim orde baru. Melalui strategi ini, banyak organisasi petani lokal menjadi lebih kuat. Mereka bisa memberikan anggotanya sebidang tanah yang mereka impikan sejak lama dan menjadi sumber daya yang nyata untuk dipertahankan. Misalnya, serikat tani lokal, Serikat Petani Pasundan (SPP) di Jawa Barat dan Serikat Tani Bengkulu (STaB) di Sumatera yang masing-masing bisa mengonsolidasikan anggotanya (kurang lebih 25 ribu keluarga) dan menguasai sekitar 20 – 30 ribu hektar tanah yang secara legal menjadi bagian dari wilayah perkebunan besar atau hutan negara.
Kesuksesan pendudukan tanah yang mereka lakukan membuat organisasi-organisasi tani lokal lebih mandiri dari sebelumnya. Mereka saat ini menjadi lebih besar posisi tawarnya di jaringan dan koalisi nasional. Pimpinan gerakan di tingkat nasional mulai mengalami kesulitan untuk mengontrol mereka. Tujuan untuk menyatukan gerakan agraria nasional mulai lemah. Sementara, pelaksanaan politik desentralisasi dan perkembangan demokrasi lokal membawa organisasi-organisasi tani lokal tersebut masuk jauh ke dalam dinamika politik lokal. Anggotanya yang cukup besar membuat mereka menjadi sumber material berharga untuk mobilisasi dalam pilkada.
Bagi petani-petani yang menjadi bagian dari serikat petani serupa, partisipasi dalam pemilu merupakan jalan untuk mengamankan tanah-tanah yang sudah mereka kuasai. Mereka berharap kemenangan yang didapat oleh salah calon dalam pemilu akan mengakui apa yang mereka lakukan dalam pendudukan tanah, walaupun untuk mendapat pengakuan formal yang prosesnya panjang, sulit dan tidak pasti. Bagi sejumlah pendamping dan pimpinan serikat tani, pilkada merupakan jembatan untuk kepentingan individual mereka untuk memasuki arena politik formal sebagai kandidat. Yang lainnya mencoba menjadi “broker” dalam “pasar demokrasi”, menjual kapasitas mereka untuk memobilisasi pemilih kepada politisi di tingkat lokal. Kadang-kadang keterkaitan mereka dalam politik lokal menggiring kepada konsekuensi positif dalam konteks pengamanan tanah-tanah pendudukan, dan akses untuk anggaran pemerintahan di tingkat lokal dan perumusan kebijakan jika kandidat yang diusungnya menang. Tetapi, di banyak kasus, hal ini juga menggiring pada perusakan serikat-serikat petani karena pertentangan di antara aktivis dan anggota serikat itu sendiri.
Sebuah perjalanan panjang dan berliku
SEJUMLAH pengalaman dramatis dalam mobilisasi pedesaan di tingkat lokal terjadi saat ini, sementara partai politik sayap kiri tengah berkutat serius untuk membangun dirinya di tingkat pusat atau mengaitkan dirinya kepada serikat-serikat petani yang baru, dan aktivisme di pedesaan. Hasilnya, gerakan petani saat ini berkembang dalam cara-cara yang tidak terhubung dengan perjuangan politik yang lebih luas atau masuk dalam arena kekuasaan negara. Mereka membangun gerakannya dengan cara-cara di mana mereka menjadi sangat lokalistik dan terfragmentasi.
Sementara, ketika perjuangan-perjuangan di tingkat lokal untuk menguasai kembali tanah-tanah yang hilang pada masa orde baru telah tercatat sebagai sebuah prestasi yang cukup baik, keberhasilan tersebut ironisnya justru menjadi salah satu faktor pendorong hilangnya antusiasme untuk berjuang lebih dari itu bagi anggota-anggota serikat yang telah berhasil. Banyak petani menginginkan keamanan ketika mereka sudah bisa kembali berproduksi di sektor pertanian yang selalu menjadi tujuan mereka, dan mereka kemudian menikmati kehidupan sosial yang normal ketimbang terlibat dalam kegiatan mobilisasi massa terus menerus. Akibatnya, penurunan kualitas gerakan petani kemudian terjadi di mana-mana.
Pasca 1998, kebijakan-kebijakan negara yang memfasilitasi investasi skala besar kepada korporasi, mengakibatkan terus terjadinya penguasaan sejumlah besar lahan-lahan oleh korporasi. Perampasan tanah dan penggusuran meningkat kembali di “daerah-daerah baru”. Pemerintahan lokal tidak terlalu banyak menolong, justru mereka seringkali dengan sangat efektif memfasilitasi kepentingan korporasi. Menggunakan kekuatan modal, pemilik perkebunan, pertambangan, dan kepentingan bisnis lainnya bisa membayar polisi dan preman untuk mengusir penduduk lokal. Pola konflik tanah yang masif yang melibatkan kekerasan dan pelanggaran HAM mengingatkan kita pada pengalaman yang pernah terjadi pada masa orde baru.
Kondisi ini sekarang menjadi tantangan baru kempok kiri. Indonesia memiliki kekayaan tradisi gerakan tani dalam mempetahankan kepentingan para landless, petani tunakisma, dan rakyat di pedesaan. Ini saatnya untuk menghidupkan kembali tradisi tersebut.
*pernah dimuat dalam Inside Indonesia 107: Jan-Mar 2012, diterjemahkan oleh Hilma Saftiri
**terjemahan bahasa Indonesia pertama kali muncul sebagai salah satu pengantar dalam Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula (SGKIuP) yang diterbitkan oleh Ultimus. Buku SGKIuP dapat diperoleh di ARCBooks Co-op (Instagram @arcbooks.coop atau WA ARC +62 895-1399-7544)