Get In Touch

Ringkasan Diskusi Metabolic Rift dan Perubahan Sosio-Ekologis di Kawasan Gambut Kalimantan Tengah

Konsep metabolic rift kembali dipopulerkan John Bellamy Foster pada tahun 1999. Itu ia lakukan untuk menanggapi pandangan orang-orang yang beranggapan bahwa Karl Marx tidak membahas tentang lingkungan hidup. Foster kemudian mengkaji tulisan-tulisan Marx, terutama Capital volume I dan III. Konsep ini didasarkan pada tulisan Marx yang sezaman dengan seorang ahli botani bernama Liebig, yang mengkaji tentang pemupukan, metabolisme, dan bagaimana nutrisi dalam tanah diserap oleh tanaman. Hal ini kemudian dikembangkan oleh Marx dalam konteks kapitalisme, yang proses-prosesnya menyebabkan pemiskinan, baik pemiskinan lingkungan maupun pemiskinan buruh (berkaitan dengan proses pertukaran kerja).

Metabolisme diartikan sebagai proses pertukaran nutrisi yang ada di sekelilingnya. Dalam arti yang lebih luas, metabolisme merupakan proses penyerapan energi dari luar untuk diolah menghasilkan energi. Sebagai contoh, manusia makan, memperoleh energi, dan ada sisa dari aktivitas mereka dalam memperoleh makanan. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana proses manusia memperoleh makanannya.

Proses produksi komoditas, sisa-sisa produksi tersebut, konsumsi hasil produksi dan limbah-limbahnya, membentuk siklus relasi manusia dengan alam akibat proses yang disebut leh Marx sebagai “kerja” (Marx 1976: 198, 283 dan 638). Itulah yang dikonsepsi Marx dan akademisi lain sebagai metabolism (Marx 1976; Smith 1990; Foster 1999, 2000; Saito 2017; Tizley (2018); Foster & Clark 2020). Marx sendiri memaknai “kerja” sebagai proses “kegiatan (manusia) atas alam luar dan mengubahnya, dan dalam prosesnya, secara simultan mengubah dirinya sendiri sebagai alam” (Marx 1976: 283).

Nilai guna terbentuk akibat adanya proses kerja social metabolism, yang dilakukan dengan proses pertukaran komoditas. Maksudnya, memindahkan komoditas-komoditas hingga komoditas tersebut memiliki nilai guna, berkaitan dengan relasi sosio-ekologis yang mengubah alam. Pada moda produksi kapitalis, hubungan sosial produksi hadir hanya untuk akumulasi yang terjadi akibat ekstraksi “tenaga kerja” dan alam, serta proses alienasi satu sama lainnya.

“Produksi kapitalis hanya mengembangkan teknik dan kombinasi proses sosial produksi yang sekaligus meninggalkan sumber kekayaan itu sendiri—tanah dan manusia” (Marx 1976: 638). Pemanfaatan tanah untuk pertanian dalam moda produksi kapitalisme merupakan aktivitas yang tidak hanya mengambil secara paksa tenaga buruh, tetapi juga kandungan-kandungan unsur hara dari tanah yang mempengaruhi pemulihan kesuburan, yang berujung pada proses penghancuran sumber-sumber jangka panjang atas kesuburan tanah itu sendiri (Marx 1976: 638). Hasilnya adalah rift (keretakan) yang tidak dapat diperbaiki dalam siklus metabolisme. Secara simultan keretakan-keretakan tersebut (metabolic rift) menghasilkan perubahan ekologi dan pemiskinan buruh (Marx 1981: 949).

Berbeda dengan industri-industri lanjut yang perlu mengeluarkan modal untuk pembelian bahan baku, usaha-usaha ekstrakif tidak membeli bahan baku dari alam, melainkan “mengambilnya” secara gratis. Surplus yang diambil selanjutnya digunakan untuk akumulasi yang digunakan sebagai kapital  yang diproduksi secara terus-menerus melalui perluasan kapasitas (ekspansi usaha) atau ragam usaha (diversifikasi usaha) yang secara umum dapat dilihat sebagai penyokong pertumbuhan ekonomi (secara makro).

Menurut Marx, metabolisme merupakan proses produksi komoditas. Sisa-sisa produksi tersebut, konsumsi hasil produksi dan limbah-limbahnya, membentuk siklus relasi manusia dengan alam akibat proses yang disebut “kerja”. Selanjutnya Mark Tizley (2018) membuat stratifikasi untuk menjelaskan hubungan sosial dan ekologi. Terdapat 4 level stratifikasi, yakni:

  • Level 1, hukum fisika (hukum alam), tidak dapat diubah oleh manusia. Misalnya, air yang terdiri dari atom hidrogen dan oksigen.
  • Level 2, hukum biologis, berkaitan dengan fungsi dari suatu entitas untuk keberlangsungan makhluk hidup. Misalnya, fungsi air bagi kehidupan tanaman, hewan, dan manusia.
  • Level 3, berupa penguasaan, pemanfaatan, dan pengalokasiannya.
  • Level 4, Dinamika politik atas akumulasi.

Level 3 dan 4 saling berhubungan, dan harus dilihat dari segi ekonomi politik, tidak hanya hubungan/relasi antara manusia dan manusia, tetapi juga manusia dengan alam.

Metabolic Rift di Pedesaan Berlahan Gambut

Lahan gambut merupakan lahan yang sangat mudah berubah ketika terjadi aktivitas-aktivitas yang dilakukan manusia, yang sangat mempengaruhi kegiatan produksinya. Dalam konteks pedesaan, beberapa komponen yang berada di dalamnya seperti petani, tanah, pihak-pihak dalam proses reproduksi, dan distribusi komoditas, perlu diperhatikan. Kondisi ini dapat dijelaskan dengan empat pertanyaan ekonomi politik Bernstein untuk melihat relasi dari pihak-pihak yang terlibat. Dalam hal ini, relasi produksi komoditas kapitalis menciptakan diferensiasi kelas, dan perubahan ekologi yang berujung pada marginalisasi petani kecil.

Penelitian peneliti dilakukan di Bapinang Hilir, Kalimantan Tengah, daerah yang hampir seluruh wilayahnya merupakan kawasan hutan yang dapat dikonversi, yang di sampingnya terdapat kawasan restorasi ekosistem (RE). Seluruhnya termasuk dalam wilayah kesatuan hidrologis gambut (KHG) Sungai Katingan dan Sungai Mentaya. Secara etnisitas, mayoritas penduduk di wilayah tersebut adalah orang Banjar. Mereka diketahui telah menanam padi di lahan gambut sejak zaman kolonial Belanda. Itu mereka lakukan dengan cara membuat kanal untuk mengeringkan lahan gambut, sehingga mengurangi kadar asam yang terkandung dalam lahan gambut.

Metabolic rift di lokasi tersebut diawali oleh adanya ledakan komoditi kelapa dalam (coconut), serta adanya proyek pengembangan lahan gambut satu juta hektar (Irigasi Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut) yang mana pada saat itu isu lingkungan belum menjadi diskursus penting di lahan gambut. Proyek ini merupakan pemanjangan kanal-kanal yang telah ada yang umumnya telah dikuasai oleh para elit kelapa setempat. Penanaman kelapa tidak dapat dilakukan petani kecil karena membutuhkan modal yang besar, sekitar 15-20 juta (terutama untuk biaya pembuatan bedeng/parit). Hal ini menyebabkan banyak petani kecil terpaksa menjual lahan mereka peda elit kelapa karena kurangnya modal dan rendahnya pendapatan. Fenomena ini berujung pada konsentrasi lahan di tangan para elit kelapa dan marginalisasi/penyempitan lahan petani kecil.

Metode pembukaan lahan yang umumnya dilakukan dengan cara pembakaran menyebabkan terbukanya lapisan pirit. Pirit merupakan mineral tanah FeS2 yang sering ditemukan di lahan rawa—terutama rawa pasang surut, berada di balik lapisan gambut atau tanah mineral yang tergenang air aman bagi tanaman. Namun apabila tersingkap lalu bersentuhan dengan udara (O2), pirit menjadi sangat berbahaya karena teroksidasi. Proses itu menimbulkan kemasaman tanah yang hebat. Nilai pH tanah bisa anjlok ke angka < 3,5. Pada pH tersebut akar tanaman—seperti padi, kelapa, dan jeruk—tak mampu bertahan hidup. Pirit teroksidasi membentuk mineral jarosit (pada pH yang sangat masam) dan goetit (pada pH di atas 4) (Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa).

Di akhir tahun 2000-an, muncul kelapa sawit di daerah tersebut (sebagai dampak dari ledakan komoditi kelapa sawit). Bukan karena oleh adanya perusahaan, tetapi diinisiasi oeh petani kecil yang melihat bahwa usaha budidaya sawit lebih menguntungkan. Budidaya kelapa sawit dilakukan oleh petani kecil karena modal yang cukup kecil/terjangkau dengan tidak mengikuti pedoman/kaidah teknik budidaya dengan berbagai keuntungan yang ditawarkan oleh kelapa sawit dibandingkan kelapa dalam (umur produktif/waktu tunggu lebih pendek, tahan terhadap kebakaran dan lahan marginal, pemeliharaan yang lebih murah, dan kemampuan untuk ditumpangsarikan dengan tanaman padi ketika tanaman sawit belum produktif).

Sirkuit kapital sawit yang muncul di Bapinang Hilir menarik petani kecil yang marginal untuk masuk dan ambil bagian dalam industri sawit. Sawit dianggap menjadi solusi untuk keluar dari kondisi marginal yang mereka alami sekian lama. “Keteladanan” yang ditunjukkan para petani menengah yang mampu membeli dan memperluas lahan dari hasil produksi sawit juga menjadi menarik petani-petani kecil untuk melakukan akumulasi surplus. Tetapi fakta-fakta dalam proses budidaya sawit dan mata rantai distribusi hasilnya tidak semudah membayangkan terjadinya perubahan kesejahteraan akibat adanya kesempatan/peluang ekonomi yang baru. Perubahan ekologi ternyata semakin menyulitkan petani sawit kecil. Rusaknya lahan akibat kekeringan dan kebakaran mensyaratkan pengeluaran modal yang lebih tinggi untuk reproduksi lahan demi kontinuitas produksi. Keterbatasan modal usaha dan pengetahuan mengenai budidaya sawit, panjangnya rantai pasok, dan konsentrasi lahan justru menjadi jebakan baru bagi petani kecil.

Booming sawit yang terjadi di Bapinang Hilir yang beriringan dengan enclosure lahan-lahan tersisa untuk sirkuit emisi karbon, melalui pemberian konsesi restorasi ekosistem, juga semakin menjepit petani kecil. Kondisi ekosistem gambut dan perubahan ekologi di Bapinang Hilir dan sekitarnya membuka berkembangnya sirkuit kapital atas komoditas baru yang bernama “emisi karbon”. Di dalam sirkuit emisi karbon terjadi aliran uang kompensasi akibat pembesaran emisi dari kegiatan industri di tempat lain. Aliran uang dan perdagangan karbon menjadi mekanisme politik atau keuangan dari kapital industri atau keuangan untuk melimpahkan tanggung jawab penurunan emisi gas rumah kaca di pabrik sendiri (Sangkoyo 2013). Sekali lagi masyarakat Bapinang Hilir terhubung dengan sirkuit kapital global: mereka menjadi subyek yang dipaksa “membayar” kelebihan emisi karbon “orang lain” melalui enclosure. Sirkuit ini terus diperluas demi meningkatkan nilai komoditas (pengurangan emisi) yang dijual lewat “penjualan hasil” dalam pengaturan kegiatan produksi petani. Sehingga apa yang harus “dibayar” petani tidak hanya enclosure, melainkan juga pembatasan akses, terutama akses petani sawit sebagai aktor yang diperlawankan dengan isu lingkungan.

Dua sirkuit kapital yang baru, yang berpangkal pada komoditas sawit dan emisi karbon, bekerja pada lokus yang sebelumnya telah terdapat sirkuit-sirkuit lainnya dan bertumbukan untuk saling menciptakan akumulasi. Bisnis karbon berkepentingan agar ekspansi sawit menurun dan petani dapat dialihkan pada komoditas yang dianggap “sesuai”. “Elite kelapa” yang juga mulai terganggu akibat banyak tenaga kerja dan pengumpul kelapa yang beralih ke sawit, berkepentingan menghambat perkembangan petani kecil kelapa sawit. Sementara bisnis karbon dilihat oleh “elite kelapa” sebagai penghambat akumulasi atas lahan-lahan yang tersisa. “Elite kelapa” menguasai pemerintahan desa dan kecamatan serta mampu memobilisasi modal untuk dihadapkan dengan bisnis karbon demi mendorong kepentingannya. Tidak demikian dengan petani-petani kecil: Mereka yang sebelumnya sudah marginal, sekarang semakin marginal.

Sejarah metabolisme dan keretakan-keretakan dalam metabolisme yang semakin dalam (deepening metabolic rifts) di Bapinang Hilir terlihat dari semakin bertambahnya sirkuit kapital yang terus menerus bekerja untuk akumulasi melalui penciptaan nilai surplus. Proses sejarah yang digerakkan atas sistem yang terus menerus mengeksploitasi kondisi produksi alam dan sosial serta “melemparkan” ongkos dari eksploitasi tersebut ke luar sirkuit kapital, termasuk kondisi produksi (Foster dan Clark 2020). Ketika metabolisme menjadi semakin kompleks akibat berbagai macam sirkuit saling bertumbukan untuk saling menciptakan akumulasi, “pendalaman metabolic rift” terefleksi dari penajaman diferensiasi kelas sosial, petani-petani kecil yang sebelumnya sudah marginal menjadi lebih marginal.

Tanggapan Hendro Sangkoyo

Penanggap menekankan perlunya pemahaman yang lebih mendalam tentang keretakan metabolik (melabolic rift) di Asia Timur, Afrika (dalam skala yang menakjubkan), Amazonia (Brazil, dll). Berdasarkan proses belajar yang dilakukan di Bapinang Hilir, daerah-daerah aliran sungai kunci dengan batas-batas desa terakhir, dan DAS Mentaya, diketahui bahwa metabolic rift telah terjadi secara luas di daerah tersebut.

Penanggap juga menampilkan bagaimana metabolic rift terjadi di Papua, Maluku Utara, dan Bali, untuk menggambarkan bagaimana industri-industri kapitalis yang berbeda telah menyebabkan keretakan metabolik yang sama parahnya. Bahkan untuk kasus di Bali, perkembangan kawasan wisata (tidak dianggap sebagai usaha ekstraktif) yang luar biasa menyebabkan banyak daerah sekitar, termasuk desa tertua di Bali kehilangan mata air mereka, yang seharusnya digunakan sebagai sumber pengairan untuk tanaman budidaya, sehingga penduduk terpaksa membeli ke perusahaan penyedia air. Hal ini terjadi karena tingginya kebutuhan air untuk akomodasi seperti perhotelan dan tempat-tempat wisata.

Untuk mengurangi laju metabolic rift, diperlukan adanya pemahaman tentang rerantai ekologis, rerantai sosial-manusia, dan rerantai metabolisme-sosial (ekonomi). Dalam pemaparannya, diilustrasikan bahwa total berat seluruh manusia sangat kecil dibandingkan dengan total berat entitas yang lain seperti tumbuhan dan mikroorganisme. Namun faktanya, manusia ingin menguasai/mengeksploitasi sebanyak banyaknya atas dasar bukan untuk mencukupi kebutuhan genetik, melainkan untuk membangkitkan akumulasi kekayaan melalui suatu proses pembesaran yang disebut teknometabolisme yang jauh melampaui kebutuhan energi untuk kebutuhan sosial metabolisme. Hal yang terpenting adalah bukan terpaku pada kategori-kategori analitis dalam metabolic rift, tetapi memahami duduk perkara dalam sejarah lokal dari masyarakat sekitar. Barulah dengan ini kita dapat melawan atau memulihkannya.

Diskusi

Sesi selanjutnya merupakan diskusi yang diawali pertanyaan dari beberapa peserta. Pertanyaan pertama diajukan Noor Vita Angraeni. Ia bertanya bagaimana mengurangi sifat tamak manusia karena akan sangat membosankan apabila pembahasan metabolic rift berhenti sampai kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia tanpa adanya solusi nyata. Pertanyaan berikutnya disampaikan oleh Adit yang menanyakan tentang keterlibatan aktor lain yang mengurangi proses metabolic rift di daerah penelitian.

Selanjutnya, apresiasi diberikan oleh Yudi Bachrioktora mengenai presentasi dan tanggapan yang sangat komprehensif dalam melihat banyak hal. Hal utama yang disampaikan mengenai pentingnya materi ini dalam melakukan riset yang mampu mengaitkan dan mengintegrasikan isu-isu di daerah penelitian dengan diskursus-diskursus lain yang sifatnya lebih luas yang pada akhirnya berimplikasi pada jawaban tentang apa yang dapat dilakukan bersama dengan masyarakat untuk dapat paling tidak mengurangi dampak yang terjadi. Pertanyaan juga disampaikan oleh Uloh dari Sains mengenai bagaimana eksploitasi nilai per tahap secara konkret terjadi di produksi paling dasar, setengah jadi, tingkat lanjut, atau bahkan sampai tingkat distribusi dan konsumsi. Dia juga bertanya tentang finansialisasi (capital fictive) hubungannya dengan sertifikasi lahan kelapa sawit.

Pertanyaan terakhir berkaitan dengan restorasi lahan gambut yang secara teori tidak dapat dilakukan. Jawaban yang disampaikan penanggap menjelaskan bahwa restorasi lahan gambut yang telah dikeringkan merupakan isu yang rumit layaknya mencari jawaban untuk pertanyaan bagaimana memasukan gajah ke dalam kulkas. Sebuah perumpamaan yang menggambarkan bahwa restorasi lahan gambut hampir tidak mungkin untuk dilakukan.

Penutup

Kesimpulan yang dapat diambil dari diskusi ini adalah bahwa proses metabolic rift yang terjadi di Bapinang Hilir juga terjadi di banyak daerah lain dengan aspek yang beragam. Diskusi ini mampu menghidupkan kembali diskursus tentang metabolic rift yang belakangan jarang digunakan. Terdapat juga beberapa usulan tentang langkah ke depan untuk membentuk “altar rasionalitas” dari metabolisme sosial yang sedang berlangsung yang dapat dicapai dengan belajar bersama dengan masyarakat setempat.

Kasiyono