Get In Touch

Dago Elos, Bandung: Kemerdekaan adalah Nasi, Dimakan Jadi Tai

Bagi warga Dago Elos, mungkin puisi Wiji Thukul yang berjudul “Puisi Kemerdekaan” dapat menjadi pengingat tentang hari kemerdekaan kali ini. Isi puisi tersebut singkat tapi melekat dan terngiang dalam setiap kepala orang yang diperkosa dan dihinakan oleh rezim.

Kemerdekaan adalah nasi

Dimakan jadi tai

Wiji Thukul (1982)

Sebagian orang beranggapan bahwa 78 tahun merupakan usia belia bagi berdirinya sebuah negara-bangsa. Namun, bukan berarti hal tersebut dapat menjadi alasan pembenar ataupun apologi atas tindakan eksploitasi, represi, kejahatan, dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM). Justru, di usia negara-bangsa yang masih belia, mengapa semangat dan nilai sejarah “Revolusi Indonesia” begitu saja hilang dari karakter bangsa dan seketika menjelma menjadi “monster” yang menakutkan. Karena itu, penting kiranya untuk merefleksikan ulang apa itu kemerdekaan. Benarkah hal kemerdekaan itu ada atau hanya utopia belaka?

Kita Tidak Pernah Merdeka

Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyinggung kelompok tertentu ataupun melupakan jasa para pahlawan yang telah gugur di medan perang, Revolusi Indonesia. Tulisan ini hanya merupakan upaya memikirkan kenyataan dan arti kemerdekaan secara jujur.

Bung Karno, dalam sebuah pidato politiknya, pernah menyampaikan bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 bukanlah peristiwa kemerdekaan, melainkan hanya upaya politik untuk mencapai “kemerdekaan” yang sejati. Peristiwa itu ia istilahkan sebagai “jembatan emas” menuju kemerdekaan sejati. Dengan demikian, sejatinya kita tidak pernah merasakan atau mengalami apa yang dinamakan tentang kemerdekaan.

Selain fakta sejarah, kenyataan bahwa kita merupakan bangsa yang tidak pernah merdeka, dapat dilihat dari fakta politik yang ada. Masih banyak produk politik hukum di negeri ini yang pro (investasi) asing, eksploitatif, dan kerap mengesampingkan bahkan melanggar prinsip-prinsip HAM. Tak jauh berbeda dengan pengalaman yang pernah dialami bangsa ini di bawah rezim Hindia-Belanda. Produk politik tersebut dapat dijumpai melalui sejumlah kebijakan dan peraturan perundang-undangan, seperti kebijakan upah buruh murah, pemukiman kumuh, administrasi pertanahan, pengetatan subsidi bagi rakyat, diskon pajak bagi perusahaan, dan yang terkini adalah keberadaan Undang-Undang (UU) No. 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja. 

Dago Elos dan Penjajahan yang Tak Pernah Usai

Beberapa hari belakangan, perhatian publik tertuju pada peristiwa represi dan penggunaan kekuatan berlebih oleh aparat keamanan di Dago Elos, Kota Bandung. Rangkaian peristiwa yang melatari dibubarkannya unjuk rasa warga Dago Elos dapat menjadi cerminan yang sempurna untuk menggambarkan “utopia kemerdekaan” itu. 

PT Dago Inti Graha menggunakan dokumen hukum usang era Hindia-Belanda, Eigendom Verponding, untuk merampas tanah yang telah puluhan tahun dihuni warga. Di satu sisi, privatisasi merupakan sejarah panjang dari akumulasi kapital. Sedangkan di sisi lain, eksistensi dan diakuinya Eigendom Verponding oleh Badan Pertanahan Nasional dan penegak hukum di Mahkamah Agung menunjukkan bahwa legitimasi Hindia Belanda masih diakui oleh negara yang konon telah merdeka ini. Pada titik ini, patut dipertanyakan, apakah kita benar-benar telah merdeka?

Sejatinya, UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) mengamanatkan bahwa seluruh aturan hukum agraria era Hindia Belanda, seperti Eigendom Verponding harus dicabut dan tidak berlaku. Namun demikian, pada kasus Dago Elos, Eigendom Verponding masih berlaku serta mendapatkan legitimasi dari Mahkamah Agung. Berlakunya dokumen hukum agraria Hindia Belanda di negara yang konon usia kemerdekaannya telah mencapai 78 tahun, semakin meyakinkan kita bahwa kita sebenarnya belum merdeka.

Silakan tanya kepada warga Dago Elos, Kebon Jeruk, Tamansari, atau warga di penjuru Indonesia lainnya yang dipenjara, dipukuli, sambil tanahnya dirampas. Hingga hari ini mereka masih berjuang untuk mempertahankan haknya. Semangatnya sama seperti para pahlawan pada masa Revolusi Indonesia dalam mempertahankan tanah airnya dari kaum penjajah. Bagi warga Dago Elos, kemerdekaan hari ini tidaklah ada sama sekali. Kalau pun ada, mungkin itu hanyalah tai seperti kata Wiji Thukul. 

Sosok penjajah itu kini berwujud perusahaan yang ingin menggusur dan merampas tanah. Warga Dago Elos tengah berjuang mempertahankan tanah airnya dari penjajah tersebut. Mereka memiliki cara terbaik dalam memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yaitu dengan cara memukul lonceng pengingat bagi seluruh kaum tertindas di Indonesia, untuk segera bangkit dan melawan karena penjajahan belum benar-benar usai. 

Dago Elos, never lose!

Rizki Maulana Hakim, Peneliti ARC