Buku Foto yang Berbicara Seribu Pengalaman

Tinjauan Buku Frans Ari Prasetyo, River in a Visual Shot (2017)
Di tengah derasnya konten visual yang hadir setiap saat, pepatah “gambar berbicara seribu bahasa” menjadi terlalu klise untuk kita gunakan saat ini. Memang, hal ini karena banyaknya visual yang hadir di media sosial yang tidak “berkata sepatah kata pun”. Frans Ari Prasetyo, dalam buku fotonya yang bertajuk River in a Visual Shot, memberi sebuah makna baru pada pepatah kuno tersebut. Daripada “berbicara seribu bahasa”, gambar-gambar di buku ini, “berbicara seribu pengalaman”. Pengalaman-pengalaman apa? Pengalaman siapa? Pengalaman laki-laki, perempuan, dan anak-anak, yang tinggal di tepi Sungai Citarum—sungai ketiga terpanjang di pulau Jawa (300 km)!
Salah satu pengalaman yang dipilih buku ini adalah dampak erosi sungai terhadap penduduk; di sini, saya secara khusus merujuk pada periode banjir yang selalu menghantam kawasan selatan Kota Bandung, yaitu daerah aliran sungai tempat sekitar lima juta orang tinggal di sana. Tentu saja, polusi di sungai juga menjadi dimensi pengalaman lainnya yang diuraikan buku ini. Jika kita membuka Sungai Citarum di Google, gambar-gambar yang muncul menunjukkan kondisi polusi yang akut, tetapi tentu saja, situasinya lebih kompleks dari apa yang media online sajikan; dan ini adalah salah satu kekuatan buku Prasetyo ini.
Di buku ini, penulis bermisi untuk mengatakan bahwa media visual yang menangkap fenomena lingkungan dapat membuka diskusi (atau bahkan sering kali perseteruan) tentang ruang dan penduduk yang baik. Salah satu cara aspek tersebut dinarasikan buku ini adalah skema adaptif yang dikembangkan oleh orang-orang di Baleendah, salah satu kecamatan di Kabupaten Bandung, yang sudah hilang melalui pengalaman banjir yang tidak terhingga. Melalui skema adaptif ini, mereka memodifikasi lingkungan rumahnya agar bisa bertahan pada saat banjir. Misalnya, dengan cara menaikkan lantai rumah atau membangun lantai tambahan di atas atap rumahnya (2-3 lantai ke atas); semuanya dikerjakan secara mandiri!
Gambar-gambar yang ada di buku ini memperlihatkan skema adaptif ini sebagai model bertahan yang jelas. Tetapi, alih-alih memperlakukan subjek sebagai korban, foto-foto Prasetyo memperlihatkan ketahanan dan ketekunan masyarakat untuk bertahan dengan kenyataan tempat mereka hidup di wilayah rawan banjir, seperti di daerah aliran Sungai Citarum.
Saya bisa behubungan dengan cerita-cerita tersebut karena sebagai orang yang dibesarkan di kawasan selatan Bandung, tepatnya di wilayah Pameungpeuk, yang lokasinya sangat dekat dengan Baleendah, keluarga saya sering mengalami kebanjiran. Pabrik-pabrik yang memproduksi tekstil dan sepatu, mengepung wilayah tersebut, sehingga sungai sering tersumbat dan tercemar oleh limbah pabrik. Ketika hujan deras, pasti banjir datang.
Kemudian, kami juga mengadopsi skema adaptif sebagai cara bertahan dari banjir—menaikkan tinggi rumah dan bangunan adalah cerita lain—yang tidak banyak menolong akibat ketinggian banjir terus meningkat drastis setiap tahun. Dampak banjir itu sangat terasa, baik secara ekonomi, logistik, maupun psikologis. Sehingga cerita rakyat Baleendah adalah cerita yang berulang dari kenyataan masyarakat Bandung selatan.
Saya sangsi apakah masalah ini bisa diselesaikan di masa yang akan datang. Tetapi minimal, buku ini menyalurkan rasa frustrasi dan kompleksitas masalah. Selain itu, buku ini juga menggambarkan bahwa media visual, seperti fotografi, adalah potensial, minimal untuk menyuarakan isu-isu yang sering diabaikan di kehidupan Bandung kontemporer, lebih penting lagi suara-suara yang tinggal di pinggiran kota yang, karena satu dan lain hal, kerap dikesampingkan dalam pembangunan kota yang dikenal dengan Paris van Java ini.
Ari Ernesto P
Kandidat PhD di Audiovisual Communication, University of Groningen, Belanda