Get In Touch

Bank Tanah dan Pembentukan Pasar Tanah

Orientasi politik Pemerintah Indonesia hari ini, yang berkonsentrasi pada pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan kekuatan kapital seluas-luasnya, merupakan sesuatu yang perlu diperhatikan. Sebab, hal ini dengan sendirinya akan menciptakan permasalahan di sektor-sektor yang bersifat publik. Di sektor agraria, misalnya, orientasi politik pemerintah akan berdampak pada pengaturan kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah, serta orientasi pembangunan agraria secara umum.

Dalam rangka mendorong laju investasi dan membuka sirkulasi kapital baru di Indonesia, pemerintah memosisikan diri sebagai “agen” yang memberikan jaminan dan kepastian hukum tentang ketersediaan tanah bagi korporasi. Posisi ini dapat dilihat dari terbitnya sejumlah paket kebijakan yang pro terhadap investasi, seperti Peraturan Presiden (Perpres) No. 28 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Dalam Perppu Cipta Kerja, terdapat badan khusus yang dibentuk oleh pemerintah untuk melakukan konsolidasi lahan dalam rangka memperlancar proses akumulasi kapital. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah, badan ini berwenang mengambil alih lahan-lahan yang dianggap terlantar (tidak punya status hak atas tanah secara legal), lahan bekas tambang, lahan pelepasan kawasan hutan, dan lain seterusnya, seperti yang tertuang dalam Pasal 7 dan 8.

Ketersediaan tanah menjadi instrumen penting dalam mekanisme akumulasi kapital. Menyediakan tanah untuk kepentingan investasi dan akumulasi kapital pada dasarnya merupakan jalan pemerintah untuk menciptakan iklim yang ramah terhadap investasi melalui mekanisme pembentukan pasar tanah. Bank Tanah yang link in dengan reforma agraria ala Jokowi, seperti yang tertuang dalam Pasal 127 Perppu No. 2/2022, sejatinya merupakan landasan bagi pembentukan dan penguatan pasar tanah di Indonesia.

Pembentukan Pasar Tanah di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, cara pandang terhadap “tanah sebagai komoditas” yang dapat memperlancar investasi korporasi besar bermula sejak rezim Orde Baru. Menteri Negara Agraria saat itu, Ir. Soni Harsono, pernah menyampaikan pandangannya tentang fungsi pemerintahan dalam sektor agraria sebagai pihak yang “menyediakan tanah yang sesuai bagi setiap sektor pembangunan sehingga dapat mendorong investasi seluas-luasnya dan sebesar-besarnya” (Harsono 1994: 48). Pandangan tersebut dimaksudkan untuk menyesuaikan kebijakan pemerintah dengan Kebijakan pertanahan global yang digagas oleh Bank Dunia (Word Bank), melalui satu program hutang yang disebut dengan Land Administration Project/LAP (Bachriadi 2019: 14).

Senada dengan misi Orde Baru, rezim Jokowi tampak ingin mengintegrasikan kebijakan pertanahan nasional hari ini dengan kebijakan Bank Dunia. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan reforma agraria ala Jokowi yang erat kaitannya dengan relasi hutang antara Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia. Reforma agraria ala Jokowi merupakan proyek yang dananya berasal dari pinjaman Bank Dunia dalam kategori Investment Project Financing (IPF). Proyek pinjaman tersebut bertujuan mengintegrasikan kebijakan pertanahan di Indonesia dengan kebijakan pertanahan global, yakni menjadikan tanah sebagai komoditas yang adaptif terhadap kepentingan pasar bebas dan investasi (Bachriadi 2019: 11-12).

Konsekuensi dari pelaksanaan reforma agraria dengan mengandalkan pinjaman hutang dari Bank Dunia adalah terbentuknya pasar tanah (dalam arti komoditas) secara meluas. Alih-alih mengubah struktur agraria yang timpang dan membangun industrialisasi nasional yang berbasis pada produksi pertanian di pedesaan, reforma agraria ala Jokowi memilih sekadar membagi-bagi sertifikat tanah yang dapat diperjualbelikan dan adaptif terhadap kredit perbankan.

Hal tersebut pada waktunya akan menciptakan ketidakpastian hukum tentang penguasaan tanah. Itu terjadi karena penerima sertifikat akan terdorong untuk menjual tanahnya dan/atau menjadikannya sebagai jaminan kredit di bank. Pada titik ini, tanah hasil reforma agraria akhirnya akan kembali dikuasai borjuasi melalui mekanisme jual-beli dan/atau memenangkan lelang tanah di perbankan. Dengan kata lain, reforma agraria ala Jokowi adalah perampasan lahan yang dilegalkan.

Tanpa bermaksud untuk mengambil kesimpulan yang tergesa-gesa, Bank Tanah tampaknya memiliki semangat dan orientasi yang serupa dengan reforma agraria ala Jokowi. Melalui Pasal 2 ayat (2) PP 64/2022, Bank Tanah dimaksudkan untuk melakukan konsolidasi lahan, yang bila diperiksa lebih jauh melalui Pasal 19 a quo, bertujuan mengadaptifkan lahan tertentu untuk kepentingan investasi. Tidak hanya untuk memberikan kepastian hukum tentang ketersediaan tanah untuk investasi perusahaan berskala besar, terbentuknya Bank Tanah merupakan politik hukum pemerintah untuk memperkuat upaya integrasi reforma agraria ala Jokowi agar sejalan dengan kebijakan global, yaitu tersedianya pasar tanah di Indonesia sebesarnya-besarnya untuk kepentingan investasi.

Benang Merah Bank Tanah dengan Reforma Agraria ala Jokowi

Amanat Pasal 127 Perppu No. 2/2022 mewajibkan Badan Bank Tanah untuk menyisakan lahannya dalam rangka kepentingan reforma agraria sebesar 30%. Hal ini mencerminkan bahwa Bank Tanah ada sebagai badan khusus negara yang bertugas mengumpulkan lahan untuk kepentingan investasi. Telah terang di awal bahwa pelaksanaan reforma agraria ala Jokowi merupakan program pinjaman hutang Bank Dunia mewajibkan debiturnya, Pemerintah Indonesia, untuk menciptakan kepastian dan ketersediaan tanah yang adaptif terhadap investasi dan pasar bebas.

Masifnya legalisasi pertanahan tanpa adanya kepastian dan keamanan kepemilikan tanah, seperti yang terjadi pada program reforma agraria ala Jokowi, merupakan praktik dasar dari terbentuknya pasar tanah. Legalisasi tanah menjadi jalan yang paling mudah bagi pemerintah untuk melakukan komodifikasi lahan dan mengintegrasikannya pada kepentingan pasar.

Begitu pula dengan Bank Tanah, dibentuk untuk mengonsolidasikan lahan demi kepentingan investasi, melalui legalisasi lahan (Hak Pengelolaan) yang dianggap terlantar. Sejatinya, Bank Tanah dan reforma agraria merupakan paket kebijakan pemerintah dalam membentuk pasar tanah di Indonesia untuk kepentingan investasi kapitalis.

 

Rizki M Hakim, Peneliti Agrarian Resource Center (ARC)