Get In Touch

CATATAN DISKUSI – “POLITIK AGRARIA DAN PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM”

AGRARIAN RESOURCE CENTER (ARC)

CATATAN DISKUSI

POLITIK AGRARIA DAN PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM”

diskusi bukuJumat, 01 Juli 2016, Agrarian Resource Center (ARC) mengadakan diskusi tentang ‘politik agraria dan penguasaan sumber daya alam’ oleh Dianto Bachriadi, Wakil Ketua Komnas HAM, sekaligus Dewan Pendiri ARC. Diskusi internal ini juga dihadiri salah satu staf Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Yudi Bachrioktora, yang juga anggota Perkumpulan ARC dan dua orang peserta Training CASI 2016, Andri Prayoga dan Zulfi Saepul Zalil. Diskusi dimulai pukul 14.00 WIB di Sekertariat ARC.

Mengawali pembahasannya Bachriadi, dalam membahas politik agraria dan penguasaan sumber daya alam, kita segera diingatkan akan ungkapan bahasa Jawa ‘jer basuki mawa beya’ yang mengandung arti ‘sebuah kesejahteran selalu memerlukan biaya’. Namun, jika dikaitkan dengan politik agraria Indonesia, ungkapan tersebut bermakna lain, yaitu ‘kesejahteraan (saya) dibiayai oleh anda’. Hal ini bisa kita lihat dari berbagai kasus-kasus pembangunan di Indonesia yang seringkali berdampak pada kesengsaraan rakyat, sekaligus menjelaskan bagaimana rakyat selalu menjadi korban atas kepentingan kelompok elit-pemodal.

Menurutnya, cara melihat politik agraria dan penguasaan sumberdaya alam (SDA) di Indonesia, baiknya selalu berusaha menggunakan kacamata ekonomi-politik dalam melihat dinamika perebutan kekuasaan atas sumber-sumber agraria diberbagai level, termasuk negara sebagai pembuat kebijakan. Kacamata ekonomi-politik memberikan pertanyaan klasik, yaitu pertanyaan-pertanyaan siapa memiliki apa? siapa melakukan apa? siapa mendapatkan apa? dan digunakan apa hasil yang diperoleh?, untuk menganalisis lebih tajam gambaran perebutan kekuasaan dan tujuan-tujuannya, serta agenda-agenda tersembunyi dibalik agenda-agenda pembangunan dan eksploitasi sumberdaya alam.

Sementara untuk melihat perkembangan kapitalisme di Indonesia, Bachriadi mencoba menggunakan pemikiran David Harvey, yaitu konsep ‘spatio-temporal fix’. Dimana sebagai suatu proses pembentukan sirkuit kapital yang memungkinkan membentuk sirkuit kapital baru dengan cara menumpukan semua kemungkinan ruang dan waktu secara bersamaan. Kebijakan pembentukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) merupakan salah satu bentuk sirkuit kapital yang mengatur ulang kapital dan modal dalam perdagangan barang dan jasa di kawasan Asia Tenggara. Indonesia menjadi pemain penting di dalam proses ini. Namun, kecenderungan pengembangan putaran modal dengan MEA tersebut tidak dapat dipisahkan dari kondisi yang sudah ada terkait dengan politik agraria di Indonesia, juga sebaliknya, bahwa politik agraria Indonesia, sejarahnya, sangat berkait dengan ‘permainan-permainan’ perputaran modal sebagaimana dijelaskan oleh konsep ‘spatial-temporal fix’.

Diskusi kemudian terfokus pada tiga isu politik agraria dan penguasaan SDA nasional. Isu pertama, terkait dengan orientasi kebijakan di tingkat nasional maupun daerah yang selalu mengutamakan kepentingan ekonomi-bisnis, sehingga, seringkali, kebijakan selalu berubah-ubah mengikuti pergantian rezim penguasa. Setiap rezim penguasa memiliki kepentingannya sendiri-sendiri, serta memiliki jaringan kerjanya masing-masing, sehingga alat legitimasi untuk menjalankan kepentingannya tersebut lah yang memandu menjalankan mandat-mandat kekuasaanya. Jika kita lihat dua kasus meha-proyek pembangunan di Indonesia, pembangunan waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang Jawa Barat dan PLTU Batang Jawa Tengah, maka akan dilihat apa kepentingan dibalik proyek raksasa tesebut jika menggunakan kacamata ekonomi-politik. Selain mengetahui pihak-pihak mana yang (yang) diuntungkan atas kedua mega proyek tersebut, sementara rakyat menjadi korban pembangunan. Sebagaimana makna kiasan ungkapan pribahasa Jawa ‘jer basuki mawa beya’.

Isu kedua tentang peseteruan atau perebutan penguasaan SDA yang memunculkan konflik. Konflik terjadi akibat perebutan hak atas tanah antara masyarakat dengan pembuat kebijakan, dimana pemegang otoritas menetapkan izin tanah dan konsensi pengelolaan SDA. Serta, bisa terjadi di dalam masyarakat akibat perebutan kekuasaan antara pemegang hak asli (hak adat, hak asal-usul, dsb) dengan pemegang hak baru. Melihat fenomena konflik yang muncul, sebagai analis yang hendak mendalami akar penyebab kemunculannya, maka tidak dengan segera menyimpulkan bahwa konflik agraria dan SDA seperti halnya konflik dua pihak yang bersengketa. Perlu dikaji lebih dalam aspek-aspek makro-sosiologis lainnya, sederhananya, aspek-aspek yang lebih luas dari perseteruan dua pihak saja.

Terdapat tiga lapisan yang harus dicermati untuk melihat konflik agraria (di Indonesia). Pertama, konflik nampak seperti bentuk kekerasan yang di-frame media sehingga kita hanya terkonsentrasi kepada pihak berseteru. Kedua, konflik seringkali terjadi antara aparatus negara dengan rakyat akibat perebutan lahan. Ketiga, konflik bisa saja meledak karena potensi konflik itu sendiri ada dalam kebijakan makro ekonomi, agraria dan pertanahan, serta pengelolaan SDA dan industri. Konsekuensinya, lapisan konflik ketiga mengakibatkan korupsi politik (political corruption) atas kebijakan izin usaha ekstraktif, dan kerusakan lingkungan, pemusnahan budaya, serta kemiskinan. Hal ini memunculkan sejumlah perlawanan rakyat.

Isu ketiga tentang politik pengelolaan kerusakan alam. Adanya kebijakan lingkungan bukan berupaya memperbaiki kerusakan lingkungan, tetapi membentuk sirkuit kapital baru. Penjelasan isu ketiga pun disertai studi kasus PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) di Jambi yang mempertahankan masyarakat adat Suku Anak Dalam (SDA) bekerja memungut bibit kayu di wilayah pedalaman untuk dijual ke perusahaan dan menanam bibit kayu di lahan rusak. Menurutnya, masyarakat pun menjadi bagian dari sirkuit-sirkuit kapital baru

Kesimpulannya, melihat kecenderungan hari ini dan membahas ketiga isu diatas, dapat dikatakan bahwa politik agraria dan penguasaan SDA di Indonesia adalah dalam rangka penciptaan produksi dan sirkuit kapital, sebagaimana pemikiran Harvey.

Akhir diskusi, tim peneliti ARC, Rahmi Indriyani, bertanya tentang kaitan diskusi ini dengan diskusi buku Dinamika Kelas (Bernstein) tanggal 23 Juni 2016, “apakah kolonialisme dibutuhkan dalam kapitalisme?”. Sejarah Indonesia adalah sejarah panjang kolonialisme, yang bisa menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut. Namun, mencermati penjelasan diskusi hari ini, kecenderungan bahwa kolonialisme adalah penyebab munculnya kapitalisme di Indonesia tidak terlalu relevan. Atas komentar tersebut Bachriadi mengungkapkan bahwa Bernstein menceritakan asal usul kapitalisme secara global, di Indonesia sendiri kapitalisme lahir melalui kolonialisme. Ada keunikan asal usul munculnya kapitalisme di Indonesia, khususnya untuk turut berkontribusi pada amatan Bernstein, karena di setiap wilayah di Indonesia memiliki sejarahnya sendiri-sendiri. Ini menjadi PR kita untuk menelusuri hal tersebut.

Berjalannya diskusi, Yudi Bachrioktora menambahkan pendapatnya mengenai Pangeran Charles (UK) yang berperan sebagai pihak penting yang mendanai PT. REKI di Jambi. Pertanyaan susulan tim peneliti ARC, Erwin Suryana, mengenai klaim hak atas tanah yang dikuasai PT REKI. Menurutnya, sejak PT. REKI masuk menimbulkan dualisme klaim atas lahan Simpang Macan Luar yang dikuasai perusahaan. Masyarakat adat mengklaim lahan tersebut sebagai miliknya yang sejak lama digarap, sementara masyarakat melarangnya. Akibatnya, tak jarang memunculkan konflik. Sejumlah upaya pendampingan dilakukan oleh berbagai organisasi, salah satunya Yayasan CAPPA-Keadilan Ekologi basis Jambi, termasuk kegiatan advokasi dengan mengupayakan sejumlah pertemuan antara perusahaan, pemerintahan daerah, kementrian kehutanan, dan masyarakat terkait. Akhirnya, disepakati masyarakat diizinkan menggarap, meskipun masih terjadi konflik.

Pertanyaan terakhir dari tim peneliti ARC, Lina Marina Rohman mengenai tiga lapisan konflik dapat menggunakan analisis tarik menarik kepentingan yang ada dalam buku Dari Lokal ke Nasional Kembali ke Lokal (Bachriadi, dkk). Menurutnya, bisa saja menggunakan analisis tersebut namun, untuk melihat dinamika konflik tidak hanya melihat perseteruan itu sendiri, maka perlu mencari akar masalah yang terjadi. Kadangkala hal tersebut sering luput dari analisis kita hingga fokus pada konflik lapisan pertama.

Bandung, 21 Juli 2016

Lina Marina Rohman