Utopia Melawan Dunia
Catatan agak panjang tentang diskusi Marinaleda: Eksperimen Kota Kecil Antikapitalis karya Dan Hancox[1]
Oleh Alvin A. Waworuntu[2]
Buku yang didiskusikan Agrarian Resource Center (ARC) Kamis (24/8/2023) itu berjudul Marinaleda: Eksperimen Kota Kecil Antikapitalis. Melalui buku itu, Dan Hancox, sang penulis, menceritakan tentang sebuah desa kecil yang agak terpencil bernama Marinaleda.
Marinaleda terletak di Andalusia, wilayah otonomi (kira-kira setara dengan provinsi di Indonesia) terbesar kedua di Spanyol yang merupakan sentra pertanian. Selama berabad-abad, Andalusia dicirikan oleh lahan-lahan subur yang dijadikan latifundios (megaperkebunan à la Amerika Latin) milik para aristokrat, dan pueblo atau desa-desa kecil yang tandus tempat rakyat miskin pedesaan terpaksa hidup di sela-sela tanah menak.
Ketimpangan ekstrem seperti itu menyuburkan gagasan-gagasan radikal di Andalusia. Tertera pada sebuah pamflet politik dari tahun 1980: “Andalusia bukan tanah yang miskin; ia dimiskinkan”. Bagi rakyatnya, wilayah itu menjadi revolusioner akibat kelakuan orang dari luar seperti orang kerajaan pada masa Imperium Spanyol dan kaum borjuis sentralistik pada abad ke-19 dan ke-20—pamflet yang sama mengamini hal ini: “Di mana ada penindasan konstan, di situ pula ada perjuangan konstan.”
Tahun 1931, Republik Kedua Spanyol berdiri, partai-partai progresif berkuasa, dan monarki Spanyol diusir. Tetapi, masa revolusioner itu tidak berhasil mendatangkan obat untuk ketimpangan penguasaan tanah yang kronis di pedesaan Spanyol (seperti Andalusia): reforma agraria. Rakyat pedesaan, yang kebanyakan merupakan pekerja tani tak bertanah, memang tidak tinggal diam. Di Provinsi Sevilla (kira-kira setara dengan kabupaten di Indonesia) saja terjadi 238 aksi mogok dari tahun 1931 hingga kudeta seorang perwira militer bernama Francisco Franco memicu Perang Saudara Spanyol pada tahun 1936.
Perang antara kaum pro-Republik dan pemberontak nasionalis yang dipimpin Franco berkecamuk selama tiga tahun. Republik Spanyol yang pasukannya terpecah-belah hanya mendapatkan relatif sedikit bantuan asing untuk melawan pasukan Franco yang disokong habis-habisan oleh kekuatan militer dan industrialis fasis dari Jerman dan Italia. Alhasil, April 1939, Republik jatuh, dan mulailah masa kediktatoran yang kelam dan berdarah di bawah Generalísimo Francisco Franco.[3]
Saat bala tentara Franco menyerbu Andalusia, para tuan tanah ikut serta untuk mengklaim kembali lahan-lahannya yang telah diduduki kaum tani yang sebelumnya tak bertanah, dan banyak di antara mereka yang dibunuh di tempat. Sebuah lelucon biadab tentang masa itu menyebut bahwa mereka mendapatkan “land reform” di akhir hayat mereka dalam bentuk petak kuburan.[4] Ketika Franco berkuasa, Andalusia “dihukum” olehnya dengan cara dibiarkan membusuk dalam kemiskinan dan kesenjangan ekonomi.
Selepas Franco menemui ajalnya pada tahun 1975, rakyat Marinaleda bangkit berjuang demi tanah dan kemerdekaan. Selama hampir dua puluh tahun, mereka menduduki lahan pertanian, bandara, stasiun kereta, gedung pemerintahan, hingga istana-istana milik kaum ningrat. Setelah mengalami represi aparat, kelaparan, pemenjaraan, dan berbagai macam penderitaan serta serangan fisik dan psikologis, akhirnya pada tahun 1991, Pemerintah Spanyol memberikan 1.200 hektare tanah yang dulunya milik seorang menak Spanyol untuk koperasi rakyat Marinaleda yang bernama El Humoso. Di sini terjadilah apa yang disebut land reform from below.
Perjuangan para marinaleños[5] belum tuntas. Salah satu kontradiksi yang merupakan tabiat dari kapitalisme sebagai formasi sosial-ekonomi ialah kecenderungannya untuk mengalami krisis dari waktu ke waktu. Di Spanyol, mereka menyebutnya sebagai la crisis. Sifatnya pervasif; ada krisis pertanian, krisis industrial, krisis finansial, krisis pangan, krisis perumahan, krisis lingkungan, krisis pada sistem—ia merangsek segala aspek kehidupan. Hancox menulis Marinaleda ketika Spanyol lumpuh akibat krisis tahun 2008. Di seluruh penjuru negeri, hingga 400.000 rumah tangga diusir dari rumahnya dan menjadi tunawisma karena tak mampu bayar sewa. Di Andalusia (2013), angka pengangguran mencapai 36%–di beberapa desa bahkan hingga 50%. Sebuah survei tahun 2012 menunjukkan bahwa 67,5% rakyat Spanyol tak puas dengan demokrasi yang ada..
Bagaimana dengan Marinaleda? Rakyatnya sadar betul bahwa akar la crisis sejatinya adalah kapitalisme. Karenanya, perjuangan mereka kini adalah melawan kapitalisme dengan membangun sebuah masyarakat baru demi kehidupan yang lebih baik. Bagaimana hasilnya? Ketika Spanyol dibuat terpuruk oleh la crisis, Marinaleda seolah-olah tak tersentuh: angka pengangguran stabil di 5%, dan semua warga masih memiliki tempat tinggal yang tak bisa dirampas oleh bank. Dari 47 juta warga Spanyol yang tengah menghadapi ketidakpastian, 2.700 warga Marinaleda bisa hidup tenteram. Tapi, ketenteraman di Marinaleda bukan tujuan akhir mereka. Sebagaimana dinyatakan Juan Manuel Sánchez Gordillo, Kepala Desa Marinaleda, mereka hendak membuat impian tentang masyarakat baru itu menjadi realitas, pertama di Marinaleda, kemudian di Andalusia dan seluruh dunia.
Diskusi Pembahas
Kami mengundang empat pembahas: Lita Soerjadinata, penerjemah buku tersebut; Reza Muharam dari IPT-65 dan Perkumpulan ARC; Andi Achdian, sejarawan yang mengajar di Universitas Nasional; dan Terri Repi dari InHides Gorontalo.
Diskusi dimulai dengan cerita Lita tentang kesan-kesannya selama menerjemahkan Marinaleda. Bagi Lita, salah satu yang paling spesial dari Marinaleda adalah budaya kolektif yang begitu mengakar di sana. Hancox bercerita tentang komentar seseorang dari Inggris yang waktu itu berkunjung ke Marinaleda: ia bilang bahwa rumah-rumah di Marinaleda sebetulnya cukup nyaman, hanya perlu mebel dan perabot untuk rekreasi keluarga di halaman belakang. Tetapi, para marinaleños tidak mengenal konsep mebel halaman belakang, dan barang itu bukan sesuatu yang biasa ada di toko perabot; bagi mereka, tempat bersosialisasi adalah di depan rumah atau di luar rumah sekalian—di bar, kafe, atau pinggir jalan, misal. Di sana, ruang publik betul-betul merupakan ruang milik bersama. Sedemikian dipegang prinsip itu, hingga rumah-rumah di Marinaleda biasanya tak memiliki ruang tamu. Nahas, kultur kebersamaan semacam ini sebetulnya sesuatu yang pernah lumrah di Indonesia, sebelum ia perlahan lenyap.
Reza pertama kali mendengar Marinaleda pada masa puncak gerakan Occupy di Amsterdam, Belanda, dari seorang Spanyol yang sedang berbagi tentang eksperimen antikapitalis. Reza menyorot judul Bahasa Inggris buku ini: The Village Against the World (Sebuah Desa yang Melawan Dunia). Hancox pun beberapa kali menyandingkan Marinaleda dengan desanya, Asterix. Jika Asterix adalah Desa Gaul yang hidup bertahan melawan dunia yang didominasi Kekaisaran Romawi, Marinaleda adalah utopia yang tegak berdiri meski dikepung kapitalisme neoliberal. Reza juga menunjukkan beberapa keselarasan konteks sosial politik Spanyol yang melatari bangkitnya Marinaleda dengan yang dialami Indonesia:
- Pada masa Perang Saudara Spanyol, usaha-usaha membangun masyarakat baru berdiri di atas pemikiran sosialisme/anarkisme/libertarianisme yang bercampur dengan nilai-nilai dan tradisi komunal lokal. Hal serupa dapat ditemukan di Indonesia, terutama pada era pergerakan nasional hingga tahun 1965.
- Ketika kubu nasionalis yang dipimpin Franco memenangkan Perang Saudara Spanyol dan mereka menghabisi gerakan-gerakan kiri Spanyol melalui pembantaian dan pemenjaraan. Sebagian kecil yang berhasil lolos terpaksa mengungsi, kebanyakan ke Prancis. Hal yang serupa terjadi di Indonesia setelah kudeta Suharto yang disokong Amerika Serikat beserta sekutunya pada tahun 1965.
- Masa la transicion adalah masa ketika berbagai gerakan sosial mulai tumbuh kembali dengan memanfaatkan lenyapnya kediktatoran militer, kemudian berhadapan dengan sisa-sisa kaum Francois yang berusaha mempertahankan status quo. Ini juga terjadi di masa-masa awal Reformasi, ketika kelompok-kelompok gerakan bergulat dengan kroni-kroni Suharto. Baik di Spanyol maupun Indonesia, gerakan-gerakan tersebut cenderung bernyawa kewilayahan atau lokalistik.
Andi menjelaskan tentang salah satu kunci bertahannya gerakan rakyat Marinaleda: adanya tradisi perlawanan dan egalitarianisme radikal yang dirawat. Para marinaleños, terutama yang hidup di masa-masa perjuangan mereka, punya imajinasi akan dunia lain yang lebih damai dan adil. Imajinasi itu dihidupkan melalui praktik sehari-hari, dipelihara serta diwariskan secara turun temurun dari bapak/ibu ke anak. Bagi Andi, ini beririsan dengan bagaimana gerakan-gerakan menjadi radikal pada masa pergerakan nasional, yaitu melalui politik praktis. Perjuangan politik pergerakan nasional di Hindia Belanda dilakukan secara paralel di berbagai tingkatan, baik di jalanan maupun di dewan seperti gemeenteraad, dan melalui berbagai kompromi dan kontestasi yang strategis. Begitu pula di Marinaleda. Sederhananya, selain menduduki lahan, mereka juga berupaya menduduki pemerintahan daerah. Keduanya memanfaatkan sekaligus memanipulasi apa yang mungkin sesuai dengan struktur peluang politik yang berjalan di konteks masing-masing. Yang terpenting, keduanya adalah upaya yang memiliki landasan ideologis dan mempunyai cita-cita untuk dikejar; dengan kata lain, keduanya jauh lebih dari sekadar luapan amarah yang cepat pudar.
Penjelasan Terri fokus pada pengaruh anarkisme di Andalusia hingga ia hidup di Marinaleda. Marinaleños memang menunjukkan ciri-ciri anarkistis seperti gotong royong (mutual aid), aksi langsung, antikapitalisme dan antiotoritarianisme, swakelola dan kolektivisme, serta otonomi. Pengaruh anarkis itu sebetulnya sudah mengakar pada sejarah dan tradisi di Andalusia dan Spanyol, sebagaimana telah ditunjukkan oleh cukup banyak penulis.[6] Warisan tradisi ini terlihat, misal, ketika marinaleños membentuk sebuah front perjuangan bersama bernama CUT.[7] Ini serupa dengan kaum republikan yang melawan fasis Franco hampir seabad silam, yang bersatu di bawah bendera Frente Popular. Terri juga sempat menyinggung contoh-contoh kelompok anarkis yang kini hidup dan bertahan, seperti di Daerah Otonom Suriah Utara dan Timur (Rojava) dan Federasi Anarkis Rio de Janeiro. Ada juga beberapa contoh di Indonesia, meskipun kecil dan relatif belum berkembang.
Refleksi
Apa istimewanya Marinaleda?
Marinaleda kerap digembar-gemborkan sebagai “utopia komunis”, tetapi ia juga kadang dicibir sebagai “dunia fantasi komunis” yang rakyatnya sama-sama menderita seperti rakyat Spanyol lainnya. Dalam beberapa hal, Marinaleda tak ubahnya dengan desa lainnya. Ia plural, tidak homogen; seradikal-radikalnya sebuah desa, belum tentu 100% rakyatnya itu sosialis/anarkis militan. Pada pemilihan daerah tahun 2012, hampir sepertiga rakyat Marinaleda memilih partai sentris (PSOE)[8] atau bahkan konservatif (PP).[9] Sánchez Gordillo sang kades pun suka dianggap sebagai diktator kecil yang dikultuskan sehingga bisa main kotor. Meski demikian, tak ada eksodus politik di sana. Jika ada migrasi keluar, itu biasanya terjadi di kalangan anak-anak muda yang bosan bekerja tani di desa dan ingin melihat dunia luar—itu pun banyak di antara mereka yang kemudian berpikir kembali ketika melihat betapa menderitanya dunia di luar Marinaleda.
Tujuan sejati perjuangan rakyat Marinaleda terpatri dalam semboyan yang terpampang di bendera dan lambangnya: Una Utopia Hacia La Paz—Utopia menuju perdamaian. Di tengah gempuran la crisis, di tengah orang-orang skeptis nan pesimis yang mengidap sindrom TINA[10]—menganggap bahwa there is no alternative, tidak ada alternatif lain (selain kapitalisme)—rakyat Marinaleda menjadi bukti hidup bahwa otro mundo es posible—suatu dunia yang lain itu mungkin. Utopia itu pun tak hanya diimpikan; ia dibangun oleh aksi langsung yang nyata, mulai dari memberi tanah ke penggarapnya, membawa demokrasi ke tempat kerja melalui ekonomi koperasi, hingga menjamin tempat tinggal bagi rakyatnya tanpa bayang-bayang hantu bernama kreditur. Bagaimanapun, di samping keberhasilan dan keterbatasan Marinaleda, marinaleños ingin menjadi contoh bagi upaya-upaya transformatif lainnya di dunia. Maka, kisah Marinaleda layak menjadi pemicu agar kita merefleksikan kondisi gerakan sosial di Indonesia saat ini.
Diskusi waktu itu mengupas tiga permasalahan terkait pengorganisasian gerakan: problem kepemimpinan, konsolidasi ekonomi, sektarianisme, dan depolitisasi.
Problem Kepemimpinan Mesianik
Tak dapat dipungkiri kalau peran Juan Manuel Sánchez Gordillo memang sentral dalam memperbaiki dan mempertahankan kehidupan marinaleños. Tapi beliau bukan nabi, apalagi dewa. Apa yang akan terjadi ketika sebuah gerakan yang terpusat pada peranan seorang pemimpin harus ditinggalkan pemimpinnya?
Bab terakhir Marinaleda mengangkat pertanyaan itu. Akhir tahun 2012, Sánchez Gordillo tiba-tiba hilang dari muka umum. Kabar burung tentangnya berseliweran di Marinaleda. Ada yang bilang ia hanya sedang istirahat sejenak, ada yang bilang ia sedang sakit, ada yang bilang ia sedang kewalahan atau bahkan depresi karena waktu itu dana dari pemerintah daerah sedang disunat sehingga koperasi El Humoso tak mampu membayar pekerjanya. Terbukti kemudian, beberapa tahun setelah Marinaleda terbit, Sánchez Gordillo yang memasuki usia kepala tujuh mundur dari jabatan kades dan digantikan oleh seorang pemuda desa. Namun, sebetulnya bagaimana Sánchez Gordillo memimpin?
Mungkin yang bayangan kita yang paling umum terhadap seorang “pemimpin” adalah seperti Suharto—pemimpin sentral, ibarat seorang bapak besar yang paling mengetahui kemaslahatan umatnya, sehingga hanya ia yang mampu merumuskan dan mengambil kebijakan. Posisi pemimpin di Marinaleda tidak seperti itu. Seperti kades-kades di Indonesia, jabatannya juga bersifat fungsional. Tetapi, Marinaleda menganut demokrasi langsung melalui kepemimpinan kolektif.
Terri mengingatkan bahwa model kepemimpinan kolektif macam ini bukan barang baru bagi kalangan kaum anarkis, yang segala keputusan penting harus diambil melalui musyawarah umum dengan mengundang seluruh warga kolektif. Peran pemimpin seperti Sánchez Gordillo sang kades hanya sebagai fasilitator yang membingkai (framing) dan menghimpun ide-ide dari warga. Sedangkan di depan umum—ketika ia berorasi atau berbicara di depan media, misal—ia hanya berperan kurang lebih sebagai juru bicara bagi kolektifnya.
Mungkin sebagian orang juga membayangkan, kalau para peserta musyawarah-musyawarah seperti itu akan (1) digiring oleh pemimpinnya, (2) ngikut-ngikut saja, atau bahkan (3) malas mengikuti musyawarah. Di Marinaleda tidak begitu keadaannya. Dianto, peneliti ARC yang hadir dalam kegiatan diskusi buku tersebut, menceritakan salah satu hal yang paling berkesan ketika ia mengunjungi Marinaleda tahun 1997. Menurutnya, musyawarah desa berlangsung dengan penuh antusiasme dan intensitas, alih-alih kuapan karena rasa kantuk. Warga-warga menyampaikan pendapat dan pemikiran mereka dengan dukungan teori dan analisis biarpun sederhana, alih-alih sekadar melontarkan omong kosong berlagak pintar nan jagoan.
Andi membalikkan arah diskusi: massa yang tidak terorganisir justru lebih berbahaya, sekalipun ia berada di bawah kepemimpinan yang sentralistik. Begitulah kecenderungan utama politik Indonesia sejak Orde Baru yang kerap disebut “politik massa mengambang” (akan dibahas di bawah). Massa yang terindividualisasi, terdepolitisasi (dijauhkan dari lingkup politik), dan tidak terorganisasi justru lebih mudah digiring ke sana-sini untuk kepentingan segelintir elite ekonomi/politik. Sebaliknya, seperti yang dicontohkan para marinaleños, massa yang memiliki kesadaran politik dan ideologi atau cita-cita yang jelas akan berpartisipasi dalam demokrasi yang langsung dan nyata. Dalam konteks seperti itu, memang akan muncul tokoh-tokoh pemimpin dan pelopor yang kemudian lebih berpengaruh ketimbang kawan-kawannya, tetapi pada akhirnya—hingga taraf tertentu—kolektiflah yang menjadi pemimpin utama. Meski terlalu dini untuk ditinjau, adanya kades baru yang menggantikan Sánchez Gordillo pun menyiratkan adanya proses kaderisasi alami yang berlangsung di Marinaleda.
Selain itu, dalam konteks politik pemerintahan Spanyol, Sánchez Gordillo memegang jabatan sebagai kades—sekalipun Marinaleda adalah desa yang notabene “anarkis”—adalah pilihan yang rasional dan relevan. Melalui tata pemerintahan yang berlaku di Spanyol, marinaleños dapat mengakses dana desa dari Pemerintah Andalusia yang kemudian dialirkan untuk kepentingan bersama, mulai dari dukungan koperasi El Humoso hingga pembangunan rumah untuk warga. Di saat yang bersamaan, tata pemerintahan Spanyol mengizinkan derajat otonomi yang relatif tinggi untuk wilayah setingkat desa seperti Marinaleda, sehingga, misalnya, Marinaleda bisa memilih untuk tidak punya polisi. Kalau kita bandingkan dengan gerakan lain seperti Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra(MST) dari Brazil, misal, kita akan melihat pilihan strategis dan taktis yang berbeda. Karena MST tidak menemukan peluang untuk mengakses dana pemerintah di Brazil sana, mereka memilih untuk menghindari negara sebisa mungkin. MST juga betul-betul menghindari menunjuk pemimpin-pemimpin individual, sehingga menutup kemungkinan adanya pemimpin gerakan yang dibeli, diiming-imingi jabatan, atau dibunuh.[11]
Nahas, salah satu masalah gerakan sosial di Indonesia adalah kecenderungan untuk berpusat pada tokoh-tokoh pemimpin yang “dikultuskan” bak Ratu Adil. Banyak gerakan sosial Indonesia yang kemudian bertransmutasi[12] menjadi kolaborator rezim karena pemimpinnya tergiur politik uang, oportunis atau luluh setelah diiming-imingi jabatan, dan tidak punya komitmen ideologis. “Problem akhlak” ini masih menjadi pekerjaan rumah kita yang berat: Bagaimana membuat pemimpin gerakan yang makrifat, istikamah, dan berkomitmen ideologis dalam usaha membangun masyarakat baru?
Problem Koperasi dan Konsolidasi Ekonomi Gerakan
Sebetulnya letak koperasi dalam gerakan sosial dan upaya transformasi sosial punya perdebatan panjang tersendiri. Tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa kesinambungan gerakan rakyat Marinaleda salah satunya bertumpu pada koperasi mereka. Strategi aksi langsung nirkekerasan para marinaleños sampai pada koperasi sebagai pilihan taktis untuk mempertahankan 1.200 hektar lahan yang berhasil mereka rebut. Sejak awal, kepentingan strategis dibentuknya koperasi El Humoso sudah jelas: konsolidasi ekonomi untuk menjamin penghidupan agar kebutuhan harian para marinaleños dapat dijamin. Namun lagi-lagi, koperasi di Marinaleda tak hanya berdiri atas pertimbangan ekonomi semata, tapi juga berlandaskan visi ideologis. Buktinya, El Humoso mengedepankan prinsip manajemen kolektif dan penciptaan sarana penghidupan, alih-alih “efisiensi” semata.
Dianto menyandingkan koperasi para marinaleños dengan koperasi di MST: keduanya sama-sama mengusahakan tanah hasil pendudukan, punya keuntungan tambahan berupa menghindari eksodus, dan memiliki ideologi yang mengarah pada transformasi sosial. Dengan demikian, koperasi di Marinaleda dan MST bukan untuk menandingi firma kapitalis besar dengan masuk ke pusaran kompetisi kapitalistik, melainkan upaya untuk keluar dari relasi produksi kapitalistik. Ketika Hancox menanyakan tentang El Humoso kepada para marinaleños, mereka bercerita tentang beratnya bertani di Andalusia yang tandus—kerja tetaplah kerja: monoton, membosankan, dan melelahkan, layaknya kerja di masyarakat atau perusahaan mana pun. Tetapi, mereka bersyukur bisa punya otonomi, bisa berhenti bekerja pukul 3 sore, dan memiliki pendapatan yang lebih daripada di usaha-usaha serupa di desa sebelah.
Tantangan koperasi di Indonesia adalah menghidupkan imajinasi untuk mengupayakan jalan keluar dari relasi kapitalistik. Lagi-lagi, kuncinya ada di landasan ideologis. Sulit sekali mencari koperasi di Indonesia yang punya imajinasi transformatif. Kebanyakan koperasi-koperasi yang ada justru mengintegrasikan dirinya ke struktur kapitalisme yang lebih luas—entah itu terikat pada instansi negara ataupun korporasi—dan pengambilan keputusan secara kolektif melalui musyawarah sudah sangat jarang ditemukan.
Problem Pengorganisasian: Sektarianisme dan Depolitisasi
Berjuang selama belasan tahun butuh kegigihan yang bukan main. Para marinaleños adalah rakyat biasa seperti umumnya, mereka harus mencari uang, mengganti popok anak, memasak makanan, dan membersihkan rumah—semua itu sambil melakukan aksi langsung di tengah kemerosotan ekonomi. Bukan perkara enteng bagi orang tua untuk turun ke jalan, menduduki lahan, kejar-kejaran dengan polisi, atau mogok makan sembari memikirkan tentang anak-anak dan rumahnya. Meski demikian, mereka berhasil mempertahankan barisan perjuangan.
Di awal sempat saya singgung mengenai bagaimana Andalusia punya tradisi egalitarianisme yang berakar pada pengalaman sejarah. Terri juga sempat menjelaskan bahwa paham anarkisme sebetulnya sempat tumbuh subur di Andalusia, terutama pada masa Perang Saudara Spanyol. Hampir empat dasawarsa dalam tangan besi Franco, budaya perlawanan, radikalisme, dan egalitarianisme di Andalusia tidak pernah sepenuhnya punah. Di seluruh penjuru Spanyol, gerakan-gerakan yang muncul di awal masa la transicion menghidupkan kembali gotong royong (mutual aid) dan praktik-praktik kolektif nan egalitarian dengan lebih lantang. Tradisi-tradisi radikal dari zaman Revolusi Spanyol yang diwariskan dari bapak kepada anak kemudian diberi kesempatan untuk hidup kembali.
Begitu pula di Marinaleda. Ketika Spanyol sedang kacau setelah Franco wafat , mereka memobilisasi diri serta membangun serikat dan partai politik (SOC[13] dan CUT). Yang patut dicontoh dari pembentukan kedua partai ini adalah mereka tidak menghabiskan waktu untuk debat kusir mengenai memberi label ideologi partai; mereka tidak perlu baku hantam untuk menentukan apakah mereka Marxis-Leninis, Trotskyis, Stalinis, atau Maois. Memang kemudian CUT mengakui bahwa mereka “mengusung obor aksi langsung anarkisme” berikut praktik demokrasi langsung yang anti terhadap sentralisme, tetapi mereka mengakomodir berbagai rupa warna haluan politik tanpa cibir-cibiran “revisionis”, apalagi jatuh ke perpecahan akibat dogmatisme sektarian. Posisi bersama CUT cukup jelas untuk menjadi landasan praktik: pokoknya antikapitalis, dan itu cukup untuk menghidupkan imajinasi terhadap suatu dunia baru yang lebih baik dan menyatukan mereka dalam perjuangan yang sama. Prinsip ini—bahwa mereka mau duduk bersama untuk merapatkan dan melakukan aksi di samping perbedaan-perbedaan remeh—menunjukkan bahwa para marinaleños adalah massa yang terorganisasi.
Ketika massanya sudah terorganisasi atas suatu tujuan bersama, soal rupa warna apalagi kemurnian haluan politik menjadi perkara picisan. SOC dan CUT melakukan aksi langsung dengan menduduki lahan, mogok makan, kucing-kucingan dengan polisi, tetapi mereka juga memanfaatkan tatanan pemerintahan Spanyol—koalisi CUT ikut pemilihan daerah sebagai partai tetap , dan kemenangan berkali-kali dalam pemilihan itu tentu memperkuat legitimasi mereka. Mereka tak peduli kalau di luar sana ada yang mencemooh “anarko, kok, ikut pemilu?”, dan mereka tak membuang-buang tenaga dan kesempatan dengan saling mengejek dari dalam!
Andi mengatakan bahwa Indonesia sebetulnya juga punya kultur berpolitik yang bisa jadi radikal. Nahas, kultur dan tradisi seperti itu sudah terkubur, dan pengalaman sejarah radikal kita yang berkaitan dengan tradisi itu dipatahkan. Depolitisasi yang dipaksakan pada satu generasi beserta keturunan-keturunannya pada zaman Orde Baru semakin memisahkan kita dari tradisi dan sejarah radikal para pendahulu kita. Bagi rezim Orde Baru, politik adalah manipulasi, dan rakyat tak seharusnya berpolitik karena mereka adalah “massa mengambang” yang seharusnya fokus pada pembangunan—hanya bekerja dan berproduksi. Depolitisasi Orde Baru sebetulnya berlawanan dengan semangat pergerakan politik yang sudah melekat pada pembentukan Indonesia sebagai nasion.[14] Tetapi, tradisi yang mengakar sekalipun akan tumbang dengan tikaman bayonet dan hantaman popor senapan.
Depolitisasi tak hanya terjadi lewat kekerasan dan represi berdarah-darah (penghabisan tokoh-tokoh politik), tetapi juga melalui cara-cara “halus”. Salah satu pencapaian rezim Orde Baru adalah manipulasi sejarah dan represi budaya, melalui penghilangan buku-buku tentang pergerakan politik, monopoli sejarah Indonesia, hingga pembatasan pada media, seni, dan sastra.[15]
Alhasil, ucap Andi, segala upaya pergerakan di Indonesia yang terjadi belakangan ini terasa seperti yang pertama kali. Sejak Orde Baru tumbang, memang sudah dimulai berbagai upaya untuk membangun atau menemukan kembali tradisi kolektif. Tetapi upaya-upaya seperti itu masih kerap tersangkut pada developmentalisme dan sindrom TINA. Akibat massa rakyat Indonesia dibesarkan untuk sekadar fokus pada bekerja dan berproduksi, sukar sekali untuk mengajak mereka berimajinasi tentang dunia baru, apalagi mengorganisir mereka. Perkembangan zaman memang membuka peluang-peluang baru untuk pergerakan politik. Teknologi digital, misalnya, memungkinkan komunikasi jarak jauh yang lebih leluasa sehingga kita dapat bersolidaritas terhadap perjuangan yang dilakukan di tempat lain dengan membagikan kabar di medsos, membuat petisi daring, dan paling jauh barangkali mengirimkan dana bantuan. Akan tetapi, tanpa kesadaran dan organisasi politik, itu hanya akan berujung pada empati tanpa ada upaya berarti yang dapat membuka jalan menuju suatu alternatif.
Kesimpulan: Marinaleda dan Masyarakat Baru Indonesia Abad ke-21
Sejak pergantian abad, sudah banyak varian gerakan antiglobalisasi neoliberal. Artinya, sebetulnya sudah banyak contoh yang pelajaran-pelajarannya bisa kita petik. Lagi-lagi, Marinaleda ingin dijadikan contoh: bahwa rakyat pekerja boleh membayangkan utopianya sendiri dan bahwa mereka mampu membangunnya. Tetapi, sefantastis apa pun pencapaian suatu gerakan, yang layak dicontoh hanyalah bagaimana ia menyesuaikan dan memanfaatkan kondisi dan konteks yang memungkinkannya berkembang. Sánchez Gordillo sang kades bisa menuntut pemberian material untuk pembangunan perumahan sosial di Marinaleda kepada Pemerintah Andalusia, hal yang belum tentu kita dapat tuntut kepada Pemerintah Kota Bandung sekarang (meski saya ingin sekali dibuktikan salah mengenai ini). Dengan kata lain, kita bisa mempelajari bagaimana mereka melampaui debat kusir dogmatis serta mengorganisir diri.
Satu hal yang bisa dicontoh dari para marinaleños adalah bahwa saat ini kita punya peluang untuk mengembangkan gerakan politik kerakyatan yang mengangkat isu-isu keseharian. Pergerakan para marinaleños tidak bermula dengan ujug-ujug berkumpul atas keinginan untuk menggulingkan “kediktatoran pasar” di seluruh dunia; mereka mulai dari permasalahan yang sebetulnya dirasakan oleh semua orang—kesulitan mencari pekerjaan, kesulitan mendapatkan tempat tinggal, kelaparan, dan harga diri yang terinjak-injak. Selain isu-isu “besar” seperti penggusuran dan perampasan tanah, ada banyak permasalahan yang dapat menjadi tumpuan untuk mobilisasi massa di Indonesia seperti buruknya jaminan kesehatan, kualitas pendidikan, polusi udara, atau sulitnya mendapatkan air bersih. Menjawab permasalahan sehari-hari bisa menjadi langkah penting dalam perjalanan menemukan kembali tradisi berpolitik kita yang hilang, sehingga massa yang mengambang bisa kembali menjadi massa yang berpolitik. Ini kemudian dapat menjadi ajang untuk merawat imajinasi dan menemukan masa depan alternatif kita—atau, dalam bahasa para marinaleños, “utopia” kita sendiri.
Sebetulnya forum diskusi ini menyinggung berbagai contoh gerakan massa antikapitalis kontemporer selain Marinaleda, mulai dari MST, EZLN, hingga Occupy. Kami sempat meratapi mengapa kita sulit sekali mencari contoh gerakan yang dapat bertahan hidup di Indonesia saat ini. Namun, Terri kemudian menyudahi ratapan ini dengan sebuah ajakan: kita cukupkan saja pencarian contoh atau model seperti itu, sebab ini adalah saat untuk membangunnya.**
[1] Dan Hancox, Marinaleda: Eksperimen Kota Kecil Antikapitalis (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2023).
[2] Peneliti di Agrarian Resource Center (ARC) Bandung. Penulis berterima kasih kepada Sdr. Mario Iskandar yang telah bersabar dalam menyunting tulisan ini dengan saksama.
[3] Lebih lengkap mengenai Perang Saudara di Spanyol, lihat Helen Graham, The Spanish Civil War: A Very Brief Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2005) dan Preston, Revolution and War in Spain, 1931-1939 (London dan New York: Routledge, 2012).
[4] Graham, Spanish Civil War, 32.
[5] Rakyat Marinaleda.
[6] Lihat, misalnya: Gerald Brenan, The Spanish labyrinth: An account of the social and political background of the Spanish civil war (Cambridge: Cambridge University Press, 1990); Eric Hobsbawm, Primitive Rebels (London: Abacus, 2017); dan Clara E. Lida, “Agrarian Anarchism in Andalusia: Documents on the Mano Negra.” International Review of Social History 14, no. 3 (1969): 315-352.
[7] Colectivo de Unidad de los Trabajadores (terj. lit. Kolektif untuk Persatuan Pekerja).
[8] Partida Socialista Obrero Español (terj. lit. Partai Pekerja Sosialis Spanyol).
[9] Partido Popular (terj. lit. Partai Rakyat).
[10] Istilah ini muncul ketika Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher, menjustifikasi kebijakannya yang menyunat anggaran sosial Inggris pada awal dasawarsa 1980-an.
[11] Heather Gautney et al., Democracy, States, Struggle, and the Struggle for Global Justice (New York: Routledge, 2009), 244-245. Sánchez Gordillo sendiri mengalami percobaan pembunuhan setidaknya dua kali, dan percobaan pembunuhan karakter berkali-kali.
[12] Perubahan dalam strategi pengorganisasian, klaim, isu, dan aksi suatu organisasi gerakan yang terjadi meskipun organisasi itu tidak berubah substansi. Dianto Bachriadi, “Between Discourse and Action: Agrarian Reform and Rural Social Movements in Indonesia Post-1965” (Disertasi PhD, Flinders University, Adelaide, 2010), 379.
[13] Sindicato de Obreros del Campo (terj. lit. Sindikat Pekerja Lahan). Tahun 2007 ia menjadi bagian dari Sindicato Andaluz de Trabajadores (SAT; terj. lit. Sindikat Pekerja Andalusia). Hancox, Eksperimen, 12.
[14] Max Lane, Unfinished Nation: Indonesia Before and After Suharto (London dan New York: Verso, 2008), 45-49.
[15] Ibid., 49-53.