Get In Touch

TPSA 2021: Keragaman, Kesetaraan, dan Lenyapnya Penyakit Perfeksionisme

Awal November 2021, saya diundang untuk mengikuti kegiatan yang diselenggarakan Agrarian Resource Center (ARC) bernama Training Penelitian Sosial Agraria (TPSA). Saat itu, judul kegiatan tersebut terdengar agak mengintimidasi. Salah satu syarat pendaftaran kegiatan adalah membuat sebuah catatan konsep desain penelitian, dan tujuan kegiatannya adalah menghasilkan sebuah desain penelitian sosial agraria, sedangkan saya masih seorang mahasiswa sarjana yang belum punya pengalaman meneliti yang “serius”. Terlebih, saya belum mempunyai pemahaman banyak tentang isu-isu agraria, sehingga saya tidak bisa membayangkan diri saya mengikuti kegiatan tersebut.

Tetapi kemudian, bermodalkan sedikit kenekatan, saya membuat sebuah catatan konsep mengenai fenomena yang dekat dengan isu agraria yang terdapat di sekitar tempat tinggal saya di Bandung. Sesudah membuat catatan konsep, calon peserta dianjurkan untuk konsultasi dengan peneliti ARC untuk sedikit mematangkan rancangan desain penelitiannya. Awalnya, saya merasa pesimis akan rancangan yang saya buat. Tetapi setelah mengumpulkan catatan konsep yang sudah dikonsultasikan dan disunting, ternyata nama saya muncul di antara calon peserta yang diterima. Akhirnya, saya memantapkan diri untuk mengikuti TPSA.

Demi menegakkan protokol kesehatan, mengingat pandemi Covid-19 yang masih berlangsung, para peserta disarankan agar melakukan tes rapid antigen di Perpustakaan ARC sehari sebelum kegiatan. Keesokannya, pada hari pertama (18/12), kami masing-masing peserta diminta untuk mempresentasikan rancangan desain riset dari catatan konsep yang telah kami buat sembari saling berkenalan dan mendengarkan komentar-komentar dari para peneliti ARC. Sesudah semua peserta presentasi, ketua panitia menugaskan lima peneliti ARC sebagai coach yang akan mendampingi peserta selama TPSA. Malamnya, kami melakukan coaching dengan coach masing-masing untuk lebih mematangkan desain riset kami sesuai tanggapan-tanggapan yang telah diberikan.

Pada hari kedua (19/12), kami diberikan materi berjudul “Filosofi, Prinsip, dan Logika Penelitian Sosial Agraria” oleh Dianto “Gepenk” Bachriadi, anggota-pendiri sekaligus peneliti senior ARC. Materi tersebut mencakup hal-hal dasar mengenai penelitian, mulai dari pemahaman tentang definisi dan tujuan kegiatan penelitian itu sendiri, bagaimana logika penelitian sosial bekerja, apa ciri penelitian yang baik, bagaimana membangun pertanyaan dan masalah penelitian, hingga apa dan bagaimana metodologi dalam penelitian agraria. Dengan endurance bak speaker (pemimpin) Parlemen Britania Raya ia menyampaikan materi yang padat itu dari pagi hingga lepas magrib, sambil memastikan bahwa tiap peserta yang latar belakangnya beragam mengerti apa yang ia sampaikan.

Hari ketiga (20/12), Perdana Putri “Pépé” Roswaldy memberikan materi khusus mengenai bagaimana membangun masalah penelitian. Sesi selanjutnya, Fathun Karib memaparkan metodologi dalam penelitian agraria. Materi ini tentu penting, karena problema kami (calon) peneliti pemula adalah tidak mengerti bagaimana “mengerucutkan” masalah penelitian serta memilih konsep dan metodologi yang tepat sesuai masalah penelitian yang kami angkat.

Keesokannya (21/12) adalah giliran para peneliti ARC M. Izzudin Prawiranegara, M. Syafiq Gumilang, dan M. Kasiyono untuk memberikan materi. Mereka menjelaskan lebih lanjut dan spesifik mengenai bagaimana membuat sebuah desain penelitian berdasarkan pengalaman mereka meneliti sebelumnya, sekaligus menyelipkan penjelasan mengenai konsep-konsep dan teori-teori agraria yang masih asing bagi kami para peserta.

Hari kelima (22/12) dan keenam (23/12) adalah untuk coaching dalam rangka merekonstruksi, memperbaiki, dan merampungkan desain riset kami. Setelah itu seluruh 17 peserta TPSA mempresentasikan desain riset yang telah dibuat secara bergiliran, di hadapan para penanggap yang terdiri dari peneliti senior dan peneliti tamu ARC pada tiga hari terakhir (24-26/12). Pada tiga hari terakhir itulah desain riset kami diuji mulai dari penguasaan konsep, ketepatan metode, hingga fokus desain, dan para penanggap memberikan kami arahan agar dapat membuat desain-desain karya kami lebih memadai.

 

Saya hendak menceritakan kesan saya selama mengikuti TPSA. Delapan hari TPSA tentu bukan waktu yang cukup bagi (kebanyakan dari) kami yang masih cenderung awam dengan penelitian sosial agraria untuk membuat sebuah desain riset yang rampung. Apalagi, hampir separuh waktu TPSA adalah materi-materi perkenalan penelitian sosial agraria, sehingga waktu untuk merampungkan desain hanya efektif 2-4 hari setelah materi diberikan. Namun dengan keterbatasan waktu tersebut, TPSA membantu saya untuk melampaui “penyakit” yang kerap menahan saya: perfeksionisme. Terkadang kita memakan waktu lama dalam mengerjakan desain riset karena perfeksionisme; kita terlalu lama (kalau tidak menunda) mengerjakan dan berlarut-larut membaca literatur, biasanya karena takut akan kegagalan atau “dibantai” di depan penguji ketika presentasi.

Pada akhirnya, desain riset yang baik adalah desain riset yang diselesaikan. Tentunya terdapat banyak kelemahan dan ketidakjelasan pada desain riset saya ketika dipresentasikan, tetapi saya tidak mendapat “makian” yang saya takutkan. Para coach dan peneliti ARC justru mengakomodasi saya memperbaiki desain riset yang saya buat. Malahan, ketika saya menuliskan tulisan ini, beberapa minggu setelah TPSA, saya masih mengonsultasikan desain riset saya dengan ARC.

 

Sebelumnya, pada hari nama-nama peserta diumumkan, saya kembali merasa terintimidasi dengan daftar 17 peserta yang diterima: separuh di antaranya sudah lulus sarjana, ada yang sudah magister, dan ada sebagian yang aktivis atau peneliti dari lembaga yang dekat dengan isu agraria. Namun nyatanya hanya butuh beberapa jam untuk perasaan terintimidasi tadi luntur. Lingkungan yang dibangun di ARC selama TPSA adalah lingkungan yang hangat tapi mendorong untuk belajar bersama-sama tanpa memandang mana yang “sudah pintar duluan” dengan yang tidak. Baik sesama peserta, para coach, dan bahkan para peneliti senior saling terbuka untuk berbagi pengetahuan tanpa pelit ilmu.

Pada akhirnya justru pengalaman belajar bersama orang-orang dengan beragam latar belakang itulah yang amat saya hargai selama TPSA, karena memunculkan ruang diskursus yang diperkaya oleh pengalaman dan pengetahuan dari berbagai latar belakang. Selain antusiasme berbagi pengetahuan, kami juga berbagi canda tawa selama TPSA, sehingga kemudian memunculkan perkawanan baru.

Sebagai seorang mahasiswa jurusan salah satu ilmu sosial dari sebuah perguruan tinggi tentunya saya sudah pernah mendapatkan pelajaran mengenai metode penelitian sosial. Tetapi ada beberapa hal yang saya dapatkan di TPSA yang tidak saya dapatkan dari kampus. Salah satunya adalah lingkungan belajar yang relatif egaliter, sehingga diskursus tidak sekaku kegiatan pembelajaran di perguruan tinggi. Selain itu, para peserta yang terdiri dari scholar-activist dan mahasiswa mengkaryakan desain riset yang sejatinya berangkat dari proyek-proyek yang tergagas dari perhatian mereka terhadap permasalahan sosial dan agraria, sehingga saya mendapatkan pengetahuan dari berbagai latar belakang, yang tidak diajarkan di kampus.

Saya berterima kasih kepada panitia, para coach, para pembicara, serta kawan-kawan peserta TPSA atas ilmu, manfaat, dan semangat yang telah diberikan.**

 

Alvin A. Waworuntu, peserta TPSA 2021