Masalah Penguasaan Lahan di Hulu Citarum: Beberapa Catatan Awal
Dalam perbincangan tentang lahan kritis di hulu Citarum, pertanian rakyat kerap dipersalahkan karena tanaman yang mereka tanam adalah palawija, bukan tanaman keras. Akan tetapi, keberadaan perusahaan-perusahaan perkebunan dan kehutanan skala luas, kerap luput dari perbincangan. Padahal, sebagaimana dikemukakan di bagian dua dari tulisan ini, keberadaan mereka, khususnya perkebunan-perkebunan besar, sejak dua abad lalu turut berkontribusi pada perkembangan populasi penduduk, sempitnya akses rakyat terhadap tanah, dan tentu pada kondisi lingkungan sekitar.
Tujuan utama tulisan adalah mendeskripsikan fenomena penguasaan dan penggarapan tanah serta kepenyakapan (tenancy) di sebagian masyarakat penggarap lahan pertanian rakyat di empat desa Kecamatan Kertasari, yang masuk dalam wilayah kerja/komando Sektor 1 dari Proyek Citarum Harum. Suatu survei terhadap 220 rumah tangga petani di empat desa yang masuk wilayah kerja/komando Sektor 1 (Desa Tarumajaya, Cikembang, Cibeureum, dan Cihawuk) dilakukan pada bulan November-Desember 2018. Survei dilakukan untuk memperoleh gambaran atas tiga pertanyaan berikut: Pertama, berapa banyak warga yang tidak memiliki tanah di luar lokasi lahan garapan? Kedua, berapa banyak warga yang memiliki tanah di luar tanah garapan? Ketiga, berapa luas lahan garapan mereka—baik yang tidak mempunyai tanah milik maupun yang mempunyai tanah milik?
Tulisan ini juga akan menyinggung kontestasi penguasaan lahan yang telah berlangsung sejak abad ke-19, yang dicuplik dari Safitri, Prawiranegara, Saeful, dan Bachriadi (2019) untuk memberikan gambaran latar belakang historis mengenai perkembangan penduduk dan penguasaan tanah di daerah hulu Citarum.
Unduh dan baca lebih lanjut kertas kerja Zulfi Saeful, “Masalah Penguasaan Lahan di Hulu Citarum: Beberapa Catatan Awal”, yang merupakan bagian dari proyek penelitian “Ekonomi-Politik Proyek Citarum Harum (2019-2021)”.