Ketuan-tanahan Skala Raksasa (Gigantic Landlordism): Déjà vu Pilpres
Dalam debat Capres ke-4 isu ‘kepemilikan’ tanah skala raksasa oleh salah seorang Capres dimunculkan kembali oleh Capres lainnya. Segera isu ini kembali memenuhi pemberitaan media massa maupun media sosial, berikut segala komentar-komentarnya baik yang memberikan penjelasan dan pemahaman lebih baik maupun yang sekedar memelintir isu ini sebagai upaya mendekreditkan salah seorang calon.
Mengikuti berita-berita tersebut, terlebih lagi lontaran isu awal yang disampaikan oleh salah satu Capres tersebut, saya merasa waktu kembali ke tahun 2019: Juga di tengah momen debar Capres. Kala itu, dalam salah satu debat antar Calon di kontestasi putaran kedua, isu yang sama dilontarkan oleh salah seorang Capres untuk membertanyakan kepemilikan tanah yang sangat besar—dalam ungkapan yang bersangkutan—oleh seorang kandidat yang kebetulan adalah orang yang sama dan dengan posisi yang sama pula dalam debat Capres 2024 kali ini. Ini adalah belahan pertama dari stuasi déjà vu yang saya alami sekarang.
Mempertanyakan “kepemilikan tanah milik seseorang” dalam skala besar yang sesungguhnya adalah tanah konsesi untuk usaha agroindustri dengan status hak tertentu, yang dalam hal ini bukan Hak Milik, oleh dua orang kandidat presiden pada dua periode yang berbeda menunjukan tidak adanya pemahaman yang memadai dari kedua calon pemimpin negara mengenai konsepsi-konsepsi pokok keagrarian di Indonesia. Padahal, paling tidak, lima tahun yang lalu saya sudah berusaha meluruskan kesalahpahaman ini melalui satu tulisan ringkas yang berjudul “Tuan tanah dan Politik Penguasaan Tanah Skala Raksasa”, yang dipublikasi di salah satu media massa nasional yang terkemuka (21 Februari 2019). Bahkan saya menantang siapa pun Calon pemenang kontestasi pada tahun 2019 itu melakukan lima langkah penting untuk mengurangi problem-problem sosial dan ekonomi yang muncul akibat penguasaan tanah dalam skala raksasa (gigantic landlordism)
Baca selengkapnya di sini